Saat bertanding di kejuaraan catur (dulu), kami diberi waktu masing-masing satu jam tiap pemain untuk 20 langkah pertama. Ada jam catur untuk menandai siapa yang sedang berpikir atau sedang mendapat giliran melangkah. Apabila kami tidak bisa mencapai langkah ke-20 dalam waktu satu jam, kami otomatis dinyatakan kalah.
Dan saya, sering sekali terjebak dalam apa yang dinamakan krisis waktu. Krisis yang terjadi ketika waktu tinggal beberapa menit sementara saya masih harus mengejar sekian langkah, sementara lawan tenang-tenang saja karena waktu dia mungkin masih setengah jam tersisa.
Ini penyakit lama yang sampai akhir karir saya sebagai pecatur, tidak bisa saya sembuhkan.
Ketika waktu tinggal lima menit, jarum jam akan menyentuh bendera dan bendera akan jatuh tepat ketika waktu satu jam persis lewat. Saat-saat inilah yang disebut krisis, apabila notasi langkah menunjukkan langkah ke-20 belum tercapai. Saya harus melangkah kesetanan, terkadang tanpa berpikir dan mengandalkan refleks atas jawaban lawan semata.
Terkadang saya mampu melewatinya, dan permainan dilanjutkan dengan tambahan waktu masing-masing satu jam lagi.
Terkadang saya kalah, karena situasi di papan begitu pelik sementara saya hanya punya waktu terbatas untuk berpikir.
Mengapa itu bisa terjadi? Mengapa saya berpikir lebih lama ketimbang lawan saya? Ada dua penyebab. Satu, saya suka mengulang-ulang satu pemikiran, yang ujung-ujungnya adalah kesimpulan yang sama. Beberapa situasi yang sudah jelas penyebab dan sudah jelas langkah pengobatnya, tetap saya pikirkan berulang-ulang. Seharusnya saya membuatnya sederhana. Just do it.
Kedua, secara mental saya menghibur diri sendiri karena sisa waktu masih lama. Ternyata ujung-ujungnya, saya terlena dan tahu-tahu terhenyak ketika sisa waktu tinggal beberapa menit.
Apabila ditarik ke dunia nyata, krisis waktu ini ternyata juga saya alami. Saya tipe pegawai yang suka menunda waktu untuk mengerjakan sesuatu, dengan dalih: “Ah, deadline masih lama.”
Ternyata, kebiasaan saya sebagai pecatur juga menjadi kebiasaan saya di dunia nyata.
Saya harus selalu mendisiplinkan diri, dengan berprinsip selesai lebih cepat, lebih baik. Saya mengiming-imingi diri sendiri bahwa saya bisa punya waktu sisa untuk proyek pribadi, dengan demikian saya tidak seyogyanya menunda pekerjaan.
Lebih cepat lebih baik.
As simple as that.