Dan hari-hari berlalu begitu saja, dan saya masih begini-begini saja. Terkadang hari-hari jelas seperti cermin baru tergosok dan cemerlang. Terkadang hari-hari seperti berkabut asap menyebabkan saya musti hati-hati melangkah, menguatkan hati untuk terus bergerak dan berjalan, karena saya tahu apabila saya diam, semua akan menjadi parah.
Kata-kata berseliweran. Ide-ide mencuat lalu menghilang tanpa tertangkap, kecuali satu dua yang lantas menjadi samar karena lama terabaikan.
Banyak teman-teman baik yang berada di sekeliling saya, dan saya berterima kasih pada mereka.
Tapi tetap ada saat di mana saya sendirian, dan kata ilmu pengetahuan, kesendirian itu membunuh sungguh.
Saya tak berkeberatan terbunuh.
Saya tak berkeberatan mati sekarang.
Eh, tunggu dulu. Saya ralat: kalau boleh jangan sekarang, kasihan ibu saya yang makin renta.
Lihat. Betapa tidak konsistennya saya ya.
Terkadang saya ingin berteriak, tapi saya tahu itu percuma.
Saya meredam kegelisahan dengan terus berjalan, dengan kamera DSLR yang seadanya itu, mencoba menangkap momen-momen yang biasa saja.
Saya mencoba memungut percikan pemikiran yang meluruh jatuh, lantas saya ragu itu untuk apa.
Semua ini untuk apa.
Tidak ada sesiapa.
Lalu perkataan-perkataan teman yang terngiang, menampar-nampar saya.
Saya teringat ibu-ibu tua yang mencari-cari botol aqua bekas. Sebegitu susahnya ia mengais nafkah.
Saya teringat anak-anak kecil yang riang tanpa sebab. Sebegitu polosnya mereka dan bahagia tanpa perlu banyak syarat.
Tiba-tiba saya merasa capek.
Mungkin waktunya saya untuk tidur, daripada otak menggerambyang sana-sini tak tentu arah dan tak guna.
Atau mungkin waktunya saya berdoa.
Baca Alkitab.
Baca Tarot.
Baca hati.
Ah. Sudahlah. Siapakah saya.