Sepertinya saya pernah menulis posting semacam ini, tapi lupa. Yasudahlahya, saya tulis saja. Nggak penting juga sik.
Jadi tadi siang saya melintas jalanan Kuta yang tumben lengang. Hari libur nasional seperti saat Idul Adha ini memang nggak lagi membahana seperti dulu. Sempat sih, bikin jalanan macet karena invasi mobil-mobil pribadi para wisatawan yang mayoritas Jawa Timur-an, tapi nggak kayak dulu yang berhari-hari lamanya. Jadi sungguh, sempat heran saya melihat jalanan lengang seperti siang tadi. (Mungkin juga sih, pusat kemacetan pindah ke Ubud atau Bedugul, siapa tahu.)
Lalu seperti biasa, sambil menyetir otak saya berkelana kesana kemari. Dan tanpa diduga, mampir ke masa kanak-kanak dengan printilan yang sungguh nggak penting. Saya nggak tahu sih apa awalnya, tapi kok mendadak saya jadi ingat masa kecil saya yang bahagia, tapi kalau dilihat pakai kacamata saya sekarang, kok ngenes ya. Nelangsa.
Pernah saya tulis, saya tidaklah dibesarkan oleh keluarga kaya. Keluarga saya pas-pasan. Herannya sebagai kanak-kanak, saya nggak merasa tersiksa. Ketika menjelang remaja, sempat terpikir sih kenapa nggak kayak remaja lain yang kayaknya gampang banget punya ini-itu. Tapi sebagai kanak-kanak, saya pasrah saja kalau nggak punya sepeda, nggak punya raket badminton yang keren (adanya raket kayu yang kalau setiap sore sehabis main, musti dimasukkan ke alat press biar dia nggak melengkung – anak jaman sekarang ngerti nggak ya?), nggak punya televisi berwarna sampai saya duduk di bangku SMA. Bahkan permintaan saya untuk sebuah game watch pun, ditolak Ibu dengan alasan: main game watch kayak gitu merusak mata. Dan saya manggut-manggut saja. Toh, selalu ada yang sedia meminjami saya.
Eniwei, yang ingin saya tuliskan bukan masa kanak-kanak itu sendiri, tapi lebih ke perasaan saya ketika kenangan remeh-temeh itu mampir. Kok mendadak, saya merasa tua ya? Bukan karena sadar begitu jauh jarak antara saat kanak-kanak itu dengan saat sekarang. Tapi karena… ya, mendadak saya merasa tua saja.
Pasti pernah ‘kan berhadapan dengan orang tua, yang deman sekali memutar ulang cerita-cerita masa dia jaya? Nah, seperti itulah saya.
Well, nggak sehat ini. Saya masih muda kok. Otak ini masih mampu berpikir cemerlang – uhuk.
Saya cuma harus berdisiplin untuk memfokuskan otak ini memandang ke depan, daripada “rewind” cerita-cerita lalu sebetapa indahnya pun itu.