Baru tiga hari lalu saya menulis tentang update seputar Grab dan Uber… dan kamu, uhuk. Ternyata hari ini saya terdorong untuk menulis lagi, sehubungan dengan aksi mogok para supir taksi (konvensional) kemarin, 14 Maret 2016.
Bisa ditebak, mereka berdemo menuntut ditutupnya aplikasi transportasi online, seperti Grab dan Uber.
Alasannya? Bisa ditebak jugalah, para supir taksi ini bilang pendapatan mereka jauh berkurang dibandingkan sebelum ada Grab dan Uber.
Bisa dipahami sih.
Demo menentang kehadiran Grab dan Uber nggak cuma terjadi di Indonesia. Tapi juga terjadi di banyak negara termasuk Perancis dan Amerika Serikat tahun 2014. List lumayan lengkap tentang demo Uber di berbagai negara bisa dibaca di tautan Detik.com ini.
Para supir taksi nggak 100% salah. Jelas, pendapatan mereka berkurang karena penumpang yang biasanya menggunakan jasa taksi kini lebih memilih Grab atau Uber. Sedangkan, mereka punya anak istri yang harus dihidupi. (Buat yang lajang, ya anggaplah punya kewajiban membantu orang tua, atau apalah yang jelas mereka para supir taksi ini, sama seperti kita, paling tidak punya perut yang harus diisi tiap hari dengan makanan bergizi.)
Argumen mereka pun nggak 100% salah. Kalau menurut para supir taksi nih (yang tentunya disupport oleh perusahaannya dan juga Organda – yang you know who diketuai oleh siapa, uhuk), kehadiran Grab dan Uber merusak tatanan jasa transportasi yang telah lama ada. Misalnya nih:
- Sekarang boleh dibilang siapa saja bisa menjadi penyedia jasa transportasi, tanpa melalui screening ketat. Yang penting punya mobil dan SIM, jadilah.
- Pemerintah kesulitan untuk menarik pajak dari para penyedia jasa transportasi, seperti kata Ahok yang berencana untuk menempelkan stiker di mobil yang digunakan sebagai Grab atau Uber. Stiker ini jelas jadi pembeda dengan mobil pribadi yang nggak digunakan untuk usaha Grab atau Uber. (Metode ini sudah diterapkan oleh pemerintah Singapura, CMIIW.)
- Grab dan Uber menawarkan ongkos yang jauh lebih murah dibandingkan taksi biasa. Sementara ongkos taksi konvensional diatur oleh pemerintah. Jelas, konsumen akan tertarik pada Grab dan Uber, nggak peduli apakah ongkos murah tersebut memang masuk akal atau strategi Grab dan Uber untuk mendapatkan konsumen (strategi yang dijalankan oleh hampir semua startup di Indonesia termasuk GoJek dan Traveloka). Hajar dulu bleh, rugi di awal untungnya kapan tauk ya gapapa.
- Uber dianggap melanggar regulasi pemerintah karena sebagai PMA, Uber belum berbadan hukum PT di Indonesia. Sedangkan Grab, dianggap melanggar karena memfasilitasi kendaraan roda empat dengan pelat hitam (kendaraan pribadi) atau rental mobil yang belum jelas statusnya sebagai moda transportasi resmi. (Sumber: Bisnis.com)
Sudah tentu pihak Grab dan Uber punya alibi tersendiri.
Grab berkilah bahwa mereka bukanlah operator layanan transportasi. Grab tidak memiliki kendaraan atau armada apapun karena mereka bekerjasama dengan perusahaan penyedia transportasi independen (dalam hal ini rental mobil). Jadi, yang Grab lakukan hanyalah membangun sebuah aplikasi mobile untuk para penyedia transportasi independen tersebut.
Alasan dari Grab masuk akal juga ‘kan?
Sama seperti Facebook. Facebook hanyalah perusahaan penyedia platform sosial media yang pada akhirnya menjadi medium untuk berjual beli. Lihat betapa maraknya online shop yang ada di Facebook, bukan?
Dan apa yang dilakukan pemerintah? Apakah pemerintah menarik pajak dari Facebook untuk setiap transaksi yang terjadi? Nggak ‘kan? (Paling tidak untuk saat ini.)
Jadi bisa dianalogikan seperti ini: Grab/Uber = Facebook. Rental mobil/mobil pribadi = online shop yang menjamur di Facebook.
Jadi gimana penyelesaiannya?
Ya belum tahu.
Masih mbulet.
Karena pemerintah memang belum siap dengan regulasi yang benar-benar bisa mengenyahkan keberadaan Grab dan Uber. Di sisi lain, pemerintah juga pinterlaah, nggak segampang itu memblokir Grab atau Uber. Konsekuensinya berat coy!
Soal peraturan, menurut saya pribadi sih, posisi Uber lebih rentan karena Uber masih belum mempunyai PT di Indonesia. Jadi sudah terang-terangan mereka melanggar aturan tentang PMA (Perusahaan Modal Asing).
Kalau soal aplikasi online sih, ya masih mbulet. Ini menurut saya, lho.
Yang jelas, yang bisa memblokir aplikasi semacam Grab dan Uber hanyalah Kominfo.
Rudiantara, Menkominfo, berjanji akan mengambil sikap yang “benefitnya pasti untuk masyarakat juga”. Jadi, masyarakat diminta bersikap tenang. Tuh ‘kan bener seperti saya bilang di atas, pemerintah sebenarnya pinter kok!
Nah, kalau diringkas gini jadinya:
- Sopir taksi konvensional minta Grab dan Uber diblokir karena menyebabkan pendapatan menurun.
- Grab berkilah bahwa mereka sudah mengikuti aturan yang ada. (Tanggapan resmi dari Uber belum saya temukan sampai detik ini, ada yang bisa kasih rujukan?)
- Pemerintah akan bersikap hati-hati dalam mengambil putusan.
- Masyarakat…. Wait, apa kata masyarakat?
Dari seliweran twit seharian kemarin, pastinya 99% mengecam aksi mogok para supir taksi tersebut. (Yang 1% nggak mengecam karena ketiduran sepanjang siang.)
Pengguna taksi umumnya kelas menengah yang gak bego, bisa milih & gak sudi dikerjain. Mogok hari ini malah akan menyulitkan mereka sendiri.
— Jenny Jusuf (@JennyJusuf) March 14, 2016
ituu supir taksi mogok krena pendapatan berkurang?? kmarin kemana aja pakkkk? nongkrong,ngetemmm ,rejeki itu di datangiiii
— Mohammad Syahrozzi (@syahrozzi) March 14, 2016
Ini perusahaan taksi konvensional minta dilindungi pemerintah melulu. Ya elu selama ini ngapain aja sampe ditinggalin pelanggan?
— sofie syarief (@sofiesyarief) March 14, 2016
Dear @bluebirdgroup dan @express_group: Berinovasilah segera, atau kalian akan semakin kami tinggal. Ttd: pengguna taksi.
— Ismet (@ifahmi) March 14, 2016
Saya juga jelas nggak rela kalau Grab dan Uber dilarang.
Lumayan ngirit bray pakai Grab atau Uber, dibandingkan dengan naik taksi biasa. Juga dari segi keamanan dan kenyamanannya, jauh lebih aman dan nyaman naik Grab atau Uber dibanding naik taksi!
Tunggu… apa? Nggak usah naik taksi? Naik angkot aja?
Ehm.
Persoalan jadi makin kusut karena kita semua paham, transportasi publik di Jakarta ini nggak manusiawi.
Meskipun nggak semua sih, tapi sebagian besar, mayoritas, 99% dari supir angkot itu sakpenake dhewe. Nyupir seenaknya, berhenti seenaknya, naikin penumpang seenaknya ampe berasa kayak ikan teri dikemas dalam kemasan vakum. Kadang, penumpang diturunkan seenaknya dan sang supir yang bagai dewa itu puter balik entah mengejar apa.
Supir taksi juga sama. Sudah jamak jika kamu menemui kasus:
- Supir taksi nggak tahu jalan.
- Supir taksi nggak punya kembalian.
Dua hal yang jarang didapati ketika kita menggunakan Grab atau Uber, karena supir Grab atau Uber pasti lumayan techie. Paling nggak, paham menggunakan GPS. Dan bayar pakai kartu kredit, nggak perlu pusing soal uang kembalian toh?
Jadi gini. Mbok ya itu para supir taksi (dan juga supir angkutan umum) pada bercermin. Tingkatkan kualitas diri biar nggak salah bersaing dengan yang lain.
Perusahaan taksi juga. Jangan cuma ngandelin Organda untuk mematikan saingan, tapi juga tingkatin dong kualitas layanan dan kualitas para supirnya.
Eniwei….
Yang bikin semakin kusut ya siapa lagi kalau bukan pemerintah.
Pemerintah dari dulu kita tahu, nggak pernah berpikir panjang. Padahal saya yakin waktu SD sudah pada diajari kata mutiara “lebih baik mencegah daripada mengobati”.
Lha mbok ya ketika Grab dan Uber baru nongol, secepat mungkin siapin regulasi yang baru, tepat sasaran dan jelas. (Iye, ngomong memang gampang Bay, ya gapapa toh saya bisanya cuma ngomong, daripada cuma bisa tidur seperti tingkah para anggota DPR yang terhormat?)
Jangan seperti sekarang, ketika masyarakat kelas menengah ngehe (seperti saya) sudah mencandu pada keberadaan Grab dan Uber.
Dan juga sudah ribuan orang menggantungkan nasib perutnya pada Grab dan Uber, sama seperti tuntutan perut para supir taksi yang demo yang saya singgung di paragraf awal tulisan ini.
Sekarang nasi sudah menjadi bubur, sudah nggak bisa dicegah dan bisanya cuma diobati.
Harapan saya pemerintah bisa bersikap tegas namun tidak mengabaikan tuntutan semua pihak:
- supir taksi (secara nggak langsung juga berarti perusahaan taksi) yang pendapatannya menurun,
- Grab dan Uber yang sebagai startup memang bersifat disruptive,
- pemerintah sendiri yang nggak mau kecolongan soal pajak dan menghindari timbulnya kekacauan,
- masyarakat sebagai pengguna jasa.
Susah sih memuaskan semua pihak, namun boleh dong berharap.
Jadi kalau ada yang nanya: nasib Grab gimana? (Keywords yang merujuk ke blog ini sampai detik ini belum ada yang nanyain “nasib Uber gimana?” hehehe.)
Jawaban saya sih: nyante Bro, Belanda masih jauh.
Besar risiko yang ditanggung pemerintah apabila benar-benar memblokir kedua aplikasi itu, sementara transportasi publik di Jakarta belum memadai.
Pemerintah sadar bahwa tidak bisa membendung kemajuan jaman, yang mereka bisa lakukan hanyalah menerbitkan regulasi agar tidak ada yang dirugikan.
Paling-paling nanti keluar aturan yang lebih tegas, seperti ide Ahok untuk menempelkan stiker di mobil yang dipakai sebagai penyedia transportasi independen.
Atau keluar aturan soal perpajakan.
Tapi kalau sampai memblokir Grab dan Uber?
Kiamat sudah dekat. #sarkasme
Update 15 Maret 2016: Soal ide stiker Grab/Uber, teman saya punya pendapat menarik. “Apabila mobil Grab/Uber ditandai dengan stiker, bukankah itu malah membuka peluang bagi yang nggak suka dengan keberadaan Grab/Uber? Kita pahamlah budaya premanisme masih mengakar kuat di Indonesia. Jangan-jangan mobil yang berstiker Grab/Uber malah jadi sasaran empuk bagi mereka yang nggak suka.” Gimana menurut kamu, ada pendapat lain?