Di tulisan sebelumnya, saya sudah berbagi tentang perjalanan hari pertama dan hari kedua. Sekarang, silakan simak perjalanan kami di hari ketiga di Ho Chi Minh City.
Table of Contents
ToggleSarapan like locals
Kami bangun jam tujuh pagi, lalu memutuskan cari sarapan sembari berjalan kaki di sekitar hotel. Cuaca cerah, ternyata lokasi Della Boutique Hotel ini cukup strategis. Nyebrang dikit sudah sampai di Bitexco Tower (kami kunjungi di hari kelima). Dekat juga dengan Saigon River, jadi kalau mau jalan pagi-pagi menyusuri sungai menikmati udara segar, silakan.
Kami sih memilih jalan kaki tak tentu. Tujuannya cuma cari sarapan. Warung kecil dan restoran bertebaran. Kami sempat melewati pasar kecil yang meriah oleh sayur mayur segar dan juga daging babi tergelar di sana-sini.
Akhirnya kami memutuskan untuk makan di satu warung yang tidak ada papan menu-nya. Jadi makannya asal tunjuk piring meja sebelah. Pakai bahasa Tarzan gitu deh.
Kekasih saya bilang: “No seafood.” Tante yang melayani kami mengangguk-angguk. Eh, datangnya ya tetap saja pakai udang. Pasrah.
Ini sarapan kami. Sepiring pho buat kekasih, dan sepiring entah apa namanya buat saya. Yang penting, sedaaap semua rasanya. Bahan-bahannya segar. (Eh, anggap saja ini pho ya, kami juga nggak tahu pasti, jujur aja.)
Pho adalah noodle soup khas Vietnam berisi mi, sayuran dan daging sapi atau ayam (ada pula yang berisikan daging babi). Di Indonesia makanan ini sudah terkenal. Restoran seperti Pho24 pun mudah ditemui di Jakarta. Tapi, pastilah lebih mantap menyantap pho langsung di negara asalnya, di warung pinggir jalan, dengan backsound dengingan suara percakapan masyarakat setempat.
Usai menyantap sarapan dengan total kerusakan VND 80.000 untuk dua mangkuk plus minum, kami kembali pulang ke hotel. Mandi, lalu berkemas karena harus pindah hotel.
Seperti saya ceritakan di bagian sebelumnya, perjalanan kami memang serba last minute. Sebenarnya kami ingin extend di Della Boutique Hotel, namun sayangnya semua kamar full kecuali untuk dormitory.
Kami belum begitu nyaman sih untuk tinggal dalam satu kamar dengan tamu lain, jadi mau nggak mau kami harus pindah hotel. Malam sebelumnya, kami sudah sempatkan diri untuk memesan kamar tentunya melalui Booking.com.
Pindah hotel
Kali ini hotel pilihan kami adalah Bay Hotel.
Proses check-out berjalan lancar. Resepsionis malah menawarkan untuk memesankan Grab untuk kami. Dengan senang hati, tentu kami iyakan. Sehari lebih di Ho Chi Minh, kami sudah mulai merasakan sulitnya berkomunikasi dengan penduduk lokal yang mayoritas tidak bisa berbahasa Inggris.
Grab datang nggak pakai lama. Dengan dibekali petunjuk dari mbak resepsionis, kami meluncur menuju Bay Hotel. Berhubung kami juga nggak paham lokasi, meski sudah berbekal Google Maps, tetap aja driver kesulitan menemukan hotel yang tergolong baru ini.
Kami sempat berputar-putar 2-3 kali sebelum akhirnya menemukan jalan yang benar.
Perjuangan belum berakhir.
Tiba-tiba driver Grab kami berhenti di depan satu rumah yang memasang plang “Bay Hotel” plus kata-kata lainnya dalam bahasa Vietnam. Bapak driver yakin aja turun lalu sudah sempat menurunkan satu ransel dari bagasi, sebelum saya cegah dan dengan bahasa Inggris seminimal mungkin plus bahasa Tarzan, saya butuh waktu lama untuk meyakinkan dia bahwa Bay Hotel masih 70 meter lagi di depan (soalnya di plang tersebut ada kata 70m plus tanda panah, jadi saya yakin aja).
Akhirnya kami benar-benar sampai di Bay Hotel. Hotel bintang empat ini cukup megah, dan memang baru dibuka.
Check-in tidak bermasalah, malah kami diberi free upgrade untuk reservasi kami yang originalnya Superior Room menjadi Deluxe Room. Yaayyy!!
Kamar yang kami dapat sesuai banget dengan harga dan deskripsi Bay Hotel di Booking.com. Ada free minibar yang lumayan banget, dua kaleng bir plus berkaleng-kaleng minuman soda lainnya.
Tapi kami cuma naruh barang karena kami sudah janjian dengan Martha, teman kami yang sudah menunggu di Kantor Pos.
Perjuangan menuju Saigon Central Post Office
Dengan bantuan resepsionis, kami memesan taksi. Vinasun, nama taksi di Ho Chi Minh yang setara Blue Bird di Indonesia, garansi terpercaya. Mobil yang dipakai rata-rata Innova. Lumayan banget yak.
Dari Bay Hotel, mulailah kami mengalami kesulitan menjelaskan tujuan kami yaitu Kantor Pos. Nyesel juga mengapa kami langsung naik taksi. Seharusnya kami minta resepsionis menjelaskan dulu tujuan kami kepada pak supir.
Pak supir ini sama sekali nggak mengerti “Saigon Central Post Office”. Cari di Google, susah juga mencari tahu sebutan dalam bahasa Vietnam untuk “Post Office” itu apa. Akhirnya saya cari gambarnya saja, dan saya tunjukkan ke pak supir.
Puji Tuhan, dia mengangguk-angguk mengerti.
Lalu kami diturunkan di… depan Town Hall, yang semalam sempat kami lewati waktu berjalan kaki dari The Hungry Pig.
Lha kok?
Tapi karena kami sudah malas berargumentasi, dan saya pikir Kantor Pos dekat dari Town Hall (sok teu bener saya yak) jadinya kami menurut saja dan turun dari taksi.
Setelah itu….
Kebingungan.
Mau nanya orang, udah kadung tersergap rasa malas.
Whatsapp-an dengan Martha, well tidak cukup membantu karena dia juga baru dua bulan di Ho Chi Minh. (Maaf ya Martha, menyeret namamu dalam cerita ini hihihi.)
Akhirnya foto-foto dulu deh. Ini tempat kami terdampar. Turis banyak berkumpul di sini dari pagi sampai malam hari. Di sekelilingnya banyak resto cantik dan juga Rex Hotel yang tersohor.
Memang cantik sih lapangannya. Dan bisa foto-foto dengan Bapak Bangsa Vietnam, Ho Chi Minh. Maksud saya, foto-foto dengan patungnya. Di latar belakang foto ini, tampak Town Hall yang megah.
Akhirnya mengandalkan Google Maps sajalah. Karena kami berdua gaptek, sempat pula berjalan salah arah sampai tersadar: lho ini jalan yang kami lewati tadi pagi pas cari sarapan pho?!
Jelang siang itu, Ho Chi Minh lagi panas-panasnya. Kami tetap semangat berjalan kaki, dan sempat rehat sebentar memesan eskrim di salah satu kios yang kami lewati.
Setelah beberapa berjalan kaki, akhirnya kami menyerah dan menyetop taksi Vinasun lagi.
Kali ini pak supir lumayan cerdas. Dia menghantarkan kami benar-benar sampai depan Kantor Pos dan kami berhasil bertemu Martha yang sabar menanti.
Gedung Kantor Pos-nya kayak gini.
Di dalam Kantor Pos, ramai dan penuh oleh wisatawan kayak kami. Rata-rata membeli kartu pos (seperti yang kekasih saya lakukan), bisa juga belanja souvenir.
Setelah urusan membeli dan mengirimkan kartu pos untuk teman-teman selesai, kami berfoto-foto di depan katedral yang tetanggaan dengan Kantor Pos ini.
Notre-Dame Cathedral Basilica of Saigon (coba hapalkan dalam bahasa Vietnam: Vương cung thánh đường Chính tòa Đức Bà Sài Gòn or Nhà thờ Đức Bà Sài Gòn) juga adalah salah satu tempat wajib kunjung di Ho Chi Minh. Katedral ini dibangun sekitar tahun 1863 – 1880 pada masa kolonial Perancis. Banyak pasangan yang melakukan pre-wedding photoshoot di sini. Kamu berminat?
Sayangnya kami nggak bisa masuk, jadi kami langsung menuju tempat makan siang yang kami dambakan.
Cukup jalan kaki lima menit dari katedral, sampailah kami di Kafe Propaganda. Namanya oke banget yak!
Tempat ini cukup penuh saat makan siang. Beruntung kami bisa mendapatkan meja. Dekorasinya menarik, kalau kata anak kekinian: instagramable.
Kami memesan com tam dan lumpia. Com tam datang dengan porsi cukup buat dua orang (ternyata memang orang Vietnam ini generous kalo soal porsi makanan). Lumpianya super duper enak, daging bebek cincang dibalut dengan betel leaves, dibalut lagi dengan potongan sayuran baru setelah itu dibalut dengan kulit lumpia yang tipis. Sungguh tasty dan nggak berasa kalau kami makan daun sirih alias betel leaves.
Kami berpisah dengan Martha karena dia harus jemput anak-anaknya dari sekolah. Setelah puas di Kafe Propaganda, kami berdua melanjutkan perjalanan mengunjungi Independence Palace yang acap disebut Reunification Palace.
Jalan kaki 200 meter doang dari Kafe Propaganda, kami sudah tiba di Independence Palace. Landmark yang satu ini adalah kediaman sekaligus tempat kerja Presiden Vietnam Selatan kala Perang Vietnam. Gedung ini juga merupakan tempat pertanda berakhirnya Perang Vietnam dengan jatuhnya Saigon pada tanggal 30 April 1975, saat tank tentara Vietnam Utara meruntuhkan gerbang-gerbang gedung.
Karena kami bukan pecinta sejarah sebenar-benarnya, kami nggak melewatkan waktu lama di sini. Buat kalian yang pengin tahu sejarah Vietnam sih, tetap wajib ya berkunjung ke sini.
Perjalanan berlanjut ke War Remnant Museum. Masih dengan berjalan kaki sekitar 500 meter saja dan tanpa kesulitan, terima kasih pada Google Maps dan koneksi internet cepat!
Tiket masuk ke museum ini cuma VND 15.000 per orang. Lumayan ngantri, sementara mendung mulai mengancam.
Di halaman depan terpajang beberapa pesawat tempur dan tank. Foto-foto dulu di sini juga boleh.
Museum ini menyajikan dokumentasi dan peninggalan Perang Vietnam. Meski banyak yang bilang museum ini berat sebelah, bagi saya, foto-foto yang tersaji cukup untuk menggugah kesadaran bahwa perdamaian itu mahal harganya dan bahwa perang itu sia-sia. Lewat dokumentasi foto yang ada di museum ini, kita bisa lihat korban bukan hanya tentara yang maju ke medan perang, namun juga rakyat sipil yang boleh dibilang tidak mengerti apa-apa.
Paling nyesek sih waktu lihat-lihat foto tentang “Agent Orange”. Agent Orange digunakan dari 1961 hingga 1971, dengan maksud untuk menghancurkan produksi bahan pangan dan pepohonan yang dijadikan sebagai tempat bersembunyinya musuh. Agent Orange yang mengandung dioxin menyebabkan mereka yang terpapar racun ini mengalami cacat genetis dan meningkatnya resiko terkena kanker. Foto anak-anak yang tak berdosa dengan berbagai cacat genetis yang di luar imajinasi kita, dijamin bakal membuat hati remuk redam.
Ini kunjungan kedua saya ke War Remnants Museum, dan hati saya selalu sesak di tiap kunjungan. Momen-momen yang diabadikan para fotografer pemberani, menjadi pengingat bagi setiap jiwa yang hidup.
Usai menyaksikan kekejaman perang yang terabadikan kamera, kami sempatkan berbelanja di toko souvenir di lantai satu. Selain yang berbau Vietnam, kami juga memborong banyak hal tentang Totoro! Aneh ya, di Vietnam malah belanjanya serba Totoro.
Keluar dari museum, mendung sudah menjadi rintik. Mendadak perut juga mules, entah kenapa. Kami dicegat segerombolan supir taksi yang menawarkan harga VND 300.000. Kami ngeyel minta pakai argometer. Sempat mau pergi meninggalkan tempat untuk mencari taksi di tempat lain, tapi karena mungkin nggak fokus dan perut melilit, akhirnya kami menyanggupi naik taksi yang sopirnya bilang okelah pakai argo.
Tourist scam!
Di tengah jalan kami tersadar bahwa kami sudah terjebak scam. Pakai argo sih benar, tapi argo kuda. Setengah panik kami melihat argo yang cepat sekali bertambah, tapi dalam hati menenangkan diri, nanti toh di hotel bisa minta tolong sekuriti.
Tapi ya, yang namanya supir taksi niat jahat, pasti mereka lebih berpengalaman. Kami diminta turun di ujung jalan dengan alasan jalan di hotel kami satu arah, jadi kami diminta jalan kaki setelah membayar sesuai argo yang VND 300.000 lebih! Gile lu, Ndro!
Marah-marah dong, tapi tetap dia keukeuh (dengan bahasa Inggris yang terbatas). Kami minta diantar ke ATM dengan alasan uang kami nggak cukup dan ada di hotel sedangkan dia nggak mau antar ke hotel. Saat di ATM, kami sepakat untuk relakan saja uang yang dia minta. Jadi ya singkat cerita, dengan makian dan acungan jari tengah, supir taksi itu berhasil menggondol VND 300.000 (well, dibilang rela sih nggak juga ya, tapi sedih karena segitunya dia cari duit yak).
Teman kami cerita, sebenarnya kalau kami mau bersikeras dan mengancam untuk melapor ke polisi, supir tadi pasti takluk karena mereka takut sekali berurusan dengan polisi apalagi karena tuduhan penipuan turis. Jadi, buat kalian besok-besok yang terkena tourist scam di Vietnam, nggak usah takut ya, cari saja polisi atau sekuriti yang pasti siap membantu. (Kalau kami, kami tidak takut, kami cuma malas!)
Oya, sebagai catatan, di Ho Chi Minh carilah taksi Vinasun atau Mai Linh. Terpercaya dan andai supir curang, kita tinggal komplain ke perusahaannya. Jangan pakai taksi yang tidak bermerek seperti kami ini.
Hujan masih rintik saat kami tiba di hotel dengan berjalan kaki dengan hati mangkel tapi ya sudahlah, liburan harus tetap berlanjut.
Sesampai di kamar, saya berkeluh kesah pada Martha dan di akhir percakapan, dia menawarkan untuk membantu pesan tempat di The Deck (wow topiknya langsung berubah ya dari komplain soal taksi ke wisata kuliner selanjutnya).
Tentu saja kami berkenan. The Deck adalah salah satu restoran yang ada di daftar kami.
Pretentious fine dining restaurant but it’s worth it
Jam lima sore kami bersiap menuju The Deck. Kali ini kami naik Grab dan minta resepsionis untuk memastikan pada supir tentang tujuan kami. Untung driver Grab yang ini tahu tempat yang kami tuju.
Perjalanan dari The Bay Hotel menuju The Deck di Distrik 2 lumayan lama, setengah jam tanpa macet. Bayangkan kalau di Jakarta, bisa dua jam mungkin.
Sesampai di tempat, kami agak ragu karena tempat yang driver tunjukkan tidak terkesan sebagai restoran mewah. Lokasinya pun di tengah kompleks perumahan (elit sih).
Ternyata benar, itu The Deck yang kami tuju.
Restoran ini terletak di tepi Saigon River. Kami mendapat meja persis di tepi sungai. Masih Happy Hour, jadi kami langsung pesan cocktail. Maaph, fotonya agak burem tapi kelihatan ‘kan Saigon River sebagai latar belakang?
Appetizer: pork dumpling. Sedaap.
Main course: pork belly dan ikan kakatua (parrot fish). Pork belly-nya alamakjaaan. Sudahlah porsinya buanyak, kulitnya garing, tasty bianget dah. Parrot fish-nya juga sedap, terkejut aja karena nggak pernah makan ikan ini, ternyata bisa juga ya jadi bahan sajian.
Dalam penilaian kami sih, kalau dari faktor lokasi, ternyata tidak seheboh yang kami bayangkan. Bayangan kami, makan malam di tepi sungai, romantis nian. Kenyataannya, eceng gondok berseliweran. Juga kapal-kapal hilir mudik (meski nggak bising sih). Dan sesekali sampah plastik entah apalah, terbawa arus sungai.
Tapi dari faktor makanan, sungguh, enak tenan! Plus servis yang memuaskan. Nggak perlu menunggu lama untuk dilayani. Dan dari faktor harga, ya biasalah, sama seperti resto mewah di Bali. Standar.
Akhirnya, karena Martha urung menyusul, kami melewatkan makan malam ini berdua. Itung-itung romantic dinner memperingati anniversary.
Kami pulang dengan naik Grab. Nggak perlu lama menunggu. Mampir dulu ke supermarket di Vincom Center untuk mulai nyicil beli oleh-oleh seperti kopi Vietnam.
Dari Vincom Center, naik taksi Vinasun, aman sampai hotel. Saatnya untuk beristirahat dan bersiap untuk petualangan di hari keempat!
4 Responses
Hai mbak bayik , saya akan ke HCMC April 2017 nanti , apakah untuk memakai aplikasi grab di HCMC harus download Grab khusus sana , atau bisa pakai aplikasi Grab yang sama seperti di Indonesia , untuk memasukan alamatnya bagaimana?
Terima Kasih
Hai Yosian, tidak perlu download Grab khusus HCMC, jadi bisa pakai Grab seperti biasa. Waktu saya di HCMC, tampilan Grab dalam bahasa Inggris, jadi tidak ada kesulitan untuk memasukkan alamat. Cuma memang harus hati-hati dan cek ricek saat mau confirm order, karena alamatnya banyak yang mirip. Atau kalo nggak, alamatnya hampir sama tapi ada di block yang beda.
Sedikit tambahan saran, kalau di kafe / hotel, setelah order bisa contact driver dan minta bicara sama petugas kafe / hotel untuk dijelaskan arah tujuannya. Biar nanti di jalan nggak runyam komunikasinya hehehe. Soalnya jarang driver yang bisa bahasa Inggris. Tapi kalo pun tidak memungkinkan, gapapa, enjoy aja, it’s part of adventure!
Terima kasih ya, sudah mampir dan membaca. Selamat berjalan-jalan dan menikmati HCMC!