Nggak terasa, sudah memasuki hari keempat perjalanan kami. Setelah hari yang tenang di Singapura, perkenalan pertama dengan Ho Chi Minh City dan kena tipu supir taksi di hari ketiga, hari keempat kami awali dengan bangun pagi lalu… pesan room service untuk breakfast. Pemalas benar ya hahaha. Padahal kalau mau jalan dikit, di sekitar Bay Hotel banyak tempat makan asik. Oya, Bay Hotel ini dekat banget dengan Japan area, jadi buat para pecinta oji-san nggak bakal bosan menginap di Bay Hotel.
Agak siang, kami kembali bertemu Martha di Jalan Pasteur. Berasa di Bandung yak, ada Jalan Pasteur gitu.
Table of Contents
ToggleWisata kuliner dimulai
Kami bertemu di warung Pho Hoa yang beralamat di Jalan Pasteur 260C. Lagi-lagi kami naik Grab dan mungkin karena Jalan Pasteur sudah sangat terkenal, nggak ada masalah untuk menemukan warung pho yang sudah terkenal ini.
Warung cukup gede ini, atau bisa dibilang resto sederhana, selalu dipadati pengunjung terutama pas jam makan siang. Pho memang cocok dimakan untuk sarapan, makan siang atau makan malam, pendek kata: pas untuk dimakan kapan saja.
Ini bagian dalam warungnya.
Meski para pelayannya nyaris nggak bisa berbahasa Inggris, nggak usah bingung. Pakai aja bahasa Tarzan sambil tunjuk-tunjuk menu yang ingin dipesan. Menunya tertempel di dinding, lengkap dengan harganya. Hampir semua pho memakai daging sapi atau ayam, namun ada beberapa yang memakai daging babi. Dan kita bisa memilih porsi normal size atau big size.
Jangan kaget kalau di meja ada seonggok sayur dan sepiring penuh taoge. Orang Vietnam sama kayak orang Sunda, pemakan segala. Kata temen saya yang asli Vietnam, ibaratnya dikasih daun pintu pun bakal mereka makan.
Saya pesan seporsi pho dengan kikil, Martha pesan pho dengan daging sapi, dan kekasih saya pesan pho komplit. Sebagai pelengkap, kami juga pesan cakwe dan lumpia goreng. Ketika datang, seperti biasa porsinya generous banget, dijamin bikin kenyang deh!
Selepas dari Pho Hoa, saya berdua dengan kekasih melanjutkan perjalanan menuju Ben Thanh Market. Pasar tradisional ini terkenal banget buat turis. Segala macam ada, jadi gampang kalau mau cari oleh-oleh.
Ben Thanh Market, Beringharjo-nya Ho Chi Minh
Penampakan pasar bagian dalamnya seperti ini.
Ada food court juga di sini, jadi praktis kalau mau makan lalu langsung belanja. Kami berkeliling tanpa bosan, mencari oleh-oleh buat teman-teman. Ada yang nitip kacang pistachio. Dan wajib juga beli kopi Vietnam, banyak banget pilihan merek dan jenisnya. Kalau mau cari kaos atau baju macam daster dan kain-kain khas Vietnam, juga ada.
Kalau belanja di Ben Thanh Market, jangan lupa untuk menawar ya. Kata teman, tawar sampai 70%. Pakai jurus kalkulator aja buat tawar menawarnya. Sudah banyak juga yang memasang tanda “Fixed Price” alias gak bisa ditawar.
Sepertinya cukup banyak orang Indonesia yang berkunjung ke Ben Thanh Market, beberapa kali saya dipanggil “sayang” oleh ibu-ibu penjaga kios setelah mereka tahu saya orang Indonesia. Mungkin saya harus mengajarkan mereka untuk memakai panggilan “bunda” ya.
Pada waktu malam, Ben Thanh berubah menjadi pasar malam. Kami sempat melewatinya di malam pertama, namun nggak sempat lagi mengeksplor lebih lanjut.
Ngafe yuk ngafe!
Dari Ben Thanh, kami lanjut berjalan kaki menuju Starbucks, 700 meter jalan kaki. Lho? Iya, selain melepas lelah (lumayan pegal bo’ mengitari pasar seluas Ben Thanh), saya juga punya misi mencari tumblr Starbucks bertuliskan Ho Chi Minh. Ternyata yang tersedia adalah tumblr bertuliskan Vietnam saja. Tak mengapa, teman saya ternyata belum punya juga tumblr Vietnam, jadi nggak sia-sia saya berburu tumblr di Ho Chi Minh City.
Setelah tenaga terkumpul kembali, kami melanjutkan perjalanan, kali ini untuk berburu sebuah kafe bernama She Cafe. Kami dapatkan informasi tentang kafe mungil ini dari Tripadvisor.
Alamat She Cafe Jalan Pasteur 158. Dari Starbucks, kalau kata Google Maps, tinggal jalan lurus aja 300 meter. Nggak disangka, ternyata tidak mudah menemukan She Cafe. Sempat terlewat, balik lagi, tetap nggak menemukan tanda-tanda keberadaan She Cafe. Padahal di Google Maps kami sudah dekat sekali. Agak hopeless, akhirnya kami masuk sebuah gang, nggak panjang sih dan bangunan di kedua sisi campuran antara rumah-rumah plus warung.
Kami putus asa, lalu memutuskan keluar dari gang.
Eh nggak disangka, iseng kami memperhatikan deretan rumah di sebelah kanan gang. Ada pintu rumah dengan tangga di belakangnya dan signage kecil “She”. Yaayyy!!!! Kami berhasil menemukannya!
Kami naik ke lantai dua, dan benar, di sanalah She Cafe berada. Kafe kecil yang tenang, beberapa pengunjung di sana tipikal yang baca buku, bercakap tenang tanpa cekakakan. Rumahan banget alias homey. Kita bisa memilih duduk di dalam atau di teras. Karena hawa panas, kami memilih menikmati waktu di dalam kafe.
Seperti biasa, saya pesan kopi Vietnam. Berhubung perut masih penuh, kami cuma pesan kentang goreng.
Si empunya She Cafe ini sepertinya seorang yang suka puisi. Dekorasi kafe diwarnai dengan kutipan tentang perempuan, dan juga potongan-potongan puisi.
Puas melewatkan waktu di kafe mungil ini, kami lantas melanjutkan perjalanan untuk pulang ke hotel. Dari She Cafe, hanya 30 menit berjalan kaki untuk sampai ke Bay Hotel. Suasana sore membuat jalan kaki terasa enak, ditambah trotoar yang lapang dan pohon-pohon peneduh di kiri kanan jalan.
Petualangan kuliner hari ini kami tutup dengan mengunjungi satu tempat yang konon menyediakan American BBQ paling sedaap di Ho Chi Minh. Namanya: Quan Ut Ut.
American BBQ ala Ho Chi Minh
Hujan gerimis nggak menghalangi kami untuk memanggil Grab. Seharusnya dari hotel, perjalanan nggak memakan waktu lama. Agak panik ketika driver berhenti di depan sebuah bangunan di jalan satu arah dan berkata dengan bahasa Inggris terpatah-patah bahwa kami sudah sampai. Ternyata, kesalahan ada di pihak kami. Ketika memilih alamat Quan Ut Ut di Grab yang tampil beberapa, kami memilih alamat yang salah. Sepertinya itu tempat Quan Ut Ut yang lama.
Lalu gimana? Untung drivernya, meski nggak bisa bahasa Inggris, cukup cerdas. Kami stop trip dan bayar sesuai tarif Grab, lalu memesan Grab lagi tanpa keluar dari mobil. Eh, si driver menggoyang-goyangkan tangan sambil bilang “No”. Ternyata, menurut dia nggak perlu kami pesan Grab lagi. Kami cukup bayar dia sesuai taksiran yang ada di Grab. Smart. Daripada pesan lagi dan order kami tersambar driver yang lain? (Sebenarnya sih menyalahi aturan Grab ya, membayar driver tanpa order. Tapi maafkan, kami dalam kondisi kepepet.)
Dari titik yang salah itu ke Quan Ut Ut yang sebenarnya, nggak sampai 10 menit.
Dan….
Benarlah kata rekomendasi yang kami baca. Quan Ut Ut dengan dua lantai dipenuhi sesak oleh para pengunjung. Beruntung kami mendapatkan meja di lantai dua.
Menunggu pesanan datang, kami menikmati bir yang disarankan oleh pramusaji. Katanya sih signature beer mereka. Pas deh untuk malam yang mulai basah oleh hujan deras, dan juga terwarnai oleh berita-berita demo 25 November yang kami pantau dari media sosial setiap kali ada kesempatan.
Kami memesan pork knuckle dan half-ribs plus side dish mash potato dan spinach cream. Sungguh putusan yang kami sesali kemudian, karena pesanan kami datang dalam porsi yang bikin takjub. Tahu gitu nggak usah pesen side dish deh!
Pendek kata, puas banget deh menikmati barbeque di Quan Ut Ut ini. Porsi gede bikin harganya jadi gak terlalu mahal. Meski ramai, pelayanan lumayan cepat.
Kami hanya sanggup menghabiskan half-ribs dan secuil pork knuckle, lalu sisanya bawa pulang deh. Lumayan buat cemilan tengah malam di kamar hotel.
Masih gerimis ketika kami meninggalkan Quan Ut Ut. Kali ini tujuan kami adalah Bui Vien, jalan yang dikenal sebagai pusat berkumpulnya backpacker di Ho Chi Minh.
Beberapa kali saya ceritakan perjalanan kami ini last minute banget ‘kan. Jadi, setelah semalam di Della Boutique Hotel dan pindah ke Bay Hotel untuk dua malam, kami memutuskan malam terakhir pindah ke daerah Bui Vien. Niatnya sih malam terakhir biar gampang kalau mau ke Ben Thanh night market dan juga kalau mau bar hopping.
Sampai di Bui Vien, kami sempat mendatangi dua hotel yang ternyata penuh untuk keesokan harinya. Di hotel terakhir, kamar tersedia namun kami nggak bisa melihat kamarnya. Jadi mengandalkan hotel deskripsi di Booking.com saja. Kami memutuskan memesan satu kamar di Duc Vuong Hotel.
Well, sekali-sekali boleh kok booking langsung ke hotel. Terkadang harga bisa sama atau malah kadang bisa lebih murah daripada harga agent. Buat saya sih, karena hotel backpacker ya nggak perlu musingin diferensiasi harga dah.
Setelah itu kami memutuskan minum-minum sejenak. Berita tentang demo 4 November yang mulai rusuh, mulai mengkuatirkan kami. Langsung deh kami ke bar The View yang ada tepat di sebelah hotel (ternyata mereka masih satu group).
Liburan rasa demo
Bar ada di lantai 5. Ceritanya rooftop bar gitu. Nggak ada lift, jadi kudu naik tangga. Dan karena habis hujan, lumayan sepi nggak ada pengunjung, cuma ada dua meja terisi selain kami.
Berhubung masih happy hour, langsung deh kami pesan cocktail buy 1 get 1 free.
Di sini liburan mulai terganggu oleh berita-berita demo. Kami memantau lewat Facebook dan Twitter. Terkadang pikiran jahat timbul, ya udahlah sana kalau mau terjadi kudeta. Mumpung kami masih di Vietnam. Nggak usah pulang sekalian. Trus nanti minta suaka.
Tapi ‘kan nggak gitu ya. Kami masih punya saudara dan teman di Indonesia. Dan pula kami cinta Indonesia.
Suasana panas terasa padahal rooftop begitu dingin dan gerimis pun turun lagi.
Jelang jam satu malam, kami pulang ke Bay Hotel. Tidur nyenyak karena kekenyangan, karena seruputan cocktail, dan karena capek emosi memikirkan nasib bangsa (halah).
Demikianlah kami melewatkan hari keempat perjalanan kami. Selow banget yak, perjalanan tanpa itinerary dan hanya berbekal satu daftar tempat wisata kuliner wajib kunjung! Kami mulai menyesal, mengapa liburan hanya sebentar. Wisata kuliner di Ho Chi Minh, kalau cuma 4-5 hari mah kagak cukup. Semoga kelak kami bisa paling nggak sebulan di sana (ngarep).
Simak cerita hari kelima kami di tulisan berikutnya ya!