Minggu kemarin saya ke Taman Prasasti. Kalian sudah pernah? Ini sebenarnya adalah sebuah museum, yang adalah bekas makam yang telah dikosongkan sehingga yang tersisa adalah nisan dan segala yang menyertainya (sudah nggak ada jasad di makamnya ya). Lokasinya di Tanah Abang I, bersebelahan dengan Kantor Walikota Jakarta Pusat.
Ini kali kedua saya berkunjung ke Taman Prasasti. Sebelumnya, di tahun 2013. Well, sebenarnya di tahun 1990-an saya sering ding ke sana tapi sudah tak tercatat di ingatan. Apalagi dulu sering main catur di Gedung KONI, yang notabene tinggal ngesot udah sampe deh ke Taman Prasasti.
Nggak banyak perubahan antara kunjungan tahun 2013 dan tahun 2017 ini. Ada sih, beberapa yang berpindah posisi seperti kereta-kereta, peti mati Bung Karno dan Bung Hatta, selainnya itu masih sama (seingat saya ya).
Nisan-nisan masih berdiri tegak dengan cerita yang disimpannya sendiri-sendiri.
Patung-patung malaikat masih anggun membentangkan atau menguncupkan sayapnya, meski banyak dari mereka yang patah tangan ataupun patah sayap.
Nisan Soe Hok Gie, masih tertanam di sana, dengan kutipannya yang selalu bikin hati saya maknyes. “Nobody can see the trouble I see, nobody knows my sorrow.”
Dulu saya senang memperbincangkan kematian. Sampai-sampai teman saya jengah, karena ya, apa sih asiknya membicarakan kematian yang (bagi banyak orang) menyeramkan?
Tapi sudah lama sih, kegemaran saya itu menghilang. Mungkin karena saya sekarang lebih senang memperbincangkan dan menikmati kehidupan. I’m busy enjoying my life, darling. Gitu kalau kata anak kekinian.
Kemarin, di Taman Prasasti, segala ide tentang kematian kembali menghampiri.
Jangan salah. Saya nggak pengin mati kok.
Maksud saya, segala pemikiran dan gagasan tentang kematian, kembali menyapa meski malu-malu.
Ada untungnya juga kemarin saya menyewa jasa guide lokal, Pak Yudi, sehingga perhatian saya selalu tercurah kembali pada cerita demi cerita yang ia alirkan tanpa henti.
Kalau nggak, saya bisa kesambet karena bengong merenungkan kembali arti kematian di tengah hamparan nisan.
Lihatlah, nisan-nisan yang begitu indah dari jaman VOC dan beberapa kaya dengan perlambang, hanya itu yang tersisa dari mereka yang nama-namanya terukir dengan lentiknya.
Apa yang kita bawa, ketika kelak kita mati?
Saya sih belum pernah mati, jadi kira-kira jawabannya menurut saya: nggak ada. Amal ibadah, kalau kata orang percaya. Nah kalau yang meninggal itu nggak termasuk kaum percaya, lalu apa yang dia bawa?
Entahlah.
Dan apa yang kita tinggalkan, ketika kelak kita mati?
Kalau ini, jelas sih. Harta benda, jelas nggak kita bawa mati. Nama baik, entah ditinggalkan entah dibawa (buat bekal menghadap peradilan terakhir, mungkin?), namun konon “nama baik” adalah warisan yang melebihi harta benda yang bisa habis dalam sekejap.
Lalu: kenangan.
Kenangan seperti apa yang akan kita tinggalkan? Pahit, manis, kecut? Senantiasa ingin teringat atau terulang dalam pikiran mereka yang kita tinggalkan, atau malah boro-boro mengenang, kepikiran nama mereka yang telah pergi saja, mereka nggak sudi saking buruknya kenangan yang kita sisakan untuk mereka?
Apakah kenangan itu akan bernasib seperti pahatan kelopak mawar di batu marmer Italim ini? Seiring menuanya waktu, tergerus ia tanpa bisa tercegah meski kecantikannya samar-samar masih terbaca.
Saya terus berjalan mengelilingi taman. Satu demi satu cerita terbagi. Begitu banyak kisah yang tersimpan, ya, mungkin saya harus menulis satu posting lagi khusus tentang siapa saja yang terprasastikan di sini.
Meski jelas, nggak semua bisa terjabarkan karena ada 1,372 nisan yang teronggok di sini. Banyak di antara nisan itu yang hanya berupa plakat yang terpatri di tembok.
Menjelang pulang, satu tulisan yang terpajang di dinding menyambar perhatian saya. “SOO GY. NU SYT. WAS. IK VOOR DEESEN DAT. JK, NV BEN SVLT GY OOK WEESEN.”
Artinya kurang lebih: “Seperti Anda sekarang, demikianlah aku sebelumnya. Seperti aku sekarang, demikianlah juga Anda kelak”.
Makjeb ya.
Seperti bisikan sayup-sayup dari balik nisan, yang membawa pesan dari alam kubur untuk kita yang masih berdaging dan bernafas. Mereka, yang sekarang hanya diwakili oleh nisan-nisan yang beku tanpa nafas kehidupan, dulu juga seperti kita, hidup dan berkata-kata. Bermain, bercanda, menangis, tertawa, jejingkrakan, terdiam.
Dan kita, yang sekarang masih bisa membaca posting ini (hayo, ngaku), kelak akan menjadi seperti mereka. Tercabut nyawa, mati, dikremasi atau dikubur, diabadikan lewat makam dengan nisan yang apik atau patung yang megah.
Lalu apakah arti hidup, bila harus berujung mati?
Jawabannya pastilah berbeda antara satu pribadi dengan pribadi lain.
Bagi saya, kematian dan simbol-simbolnya, adalah pengingat bahwa kelak kita pun akan menuju ke sana. Ke kematian. Yang pemisahnya dengan kehidupan laksana lubang super hitam, takkan ada makhluk hidup yang tahu apa yang ada di ujung lubang satunya. Dan mereka yang akhirnya tahu, pun tak bisa membagikan pengetahuannya kepada yang hidup (kecuali bagi yang percaya bahwa kita bisa berkomunikasi dengan mereka para almarhum).
Setelah ingat bahwa kita kelak akan mati, lalu apa?
Ya hidup dengan sebaik-baiknya, hidup dengan lebih baik dan lebih hidup saja.
Agar tidak ada penyesalan bahwa sesungguhnya kita tidak pernah hidup, dan kesadaran yang terlambat bahwa kita sesungguhnya telah mati semasa kita masih bernyawa.
Museum Taman Prasasti berada di Jalan Tanah Abang I No.1, Kelurahan Petojo Selatan, Kecamatan Gambir, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10160. Buka untuk umum dari hari Selasa – Minggu, setiap pukul 09.00 s/d 15.00 WIB. Bagi yang mau berkunjung malam hari pun diperbolehkan, asalkan ada pemberitahuan sebelumnya dan sebaiknya berkelompok. No telepon: (021) 3854060.
3 Responses
ini mbak bayik yang dulu aktif di milis truedee-list? kalau iya, saya salah satu penikmat posting2 mu di milis itu 😉 saya salah satu silent reader di milis itu, menikmati tulisan2 keren2 member2 nya
Waaah surprise banget nih masih ada yang inget truedee-list hahaha. Iya, dulu aktif di sana sampai tahu-tahu milisnya senyap. Makasih banyak atas kunjungannya, Kang. Salam kenal 🙂
salam kenal juga mbak bayik 🙂 iya truedee-list emang milis antik dan membernya juga antik. makanya saya betah di sana. dan ternyata itu sudah belasan tahun yang lalu ya masa2 itu. makanya saya surprise juga kalau ga sengaja bisa menemukan mbak bayik he he he