Sudah di penghujung tahun 2021. Pandemi belum dinyatakan berakhir, malah lagi rame-ramenya soal varian baru Omicron. Yah, kalau di Indonesia sih, sepertinya masyarakat sudah terbiasa dengan kehadiran virus corona, jadi secara tidak sadar, sebagian besar masyarakat Indonesia sudah mengikuti anjuran Presiden Joko Widodo untuk hidup berdampingan dengan virus corona.
Berdasar pengalaman hidup saya selama ini, saya menobatkan tahun 2021 ini sebagai tahun terberat bagi saya. Meskipun, kalau disuruh lomba berat-beratan sih, saya yakin masih banyak yang beban hidupnya jauh lebih berat dari saya. Termasuk di antaranya, beberapa nama yang saya kenal, yang sudah berpulang karena memilih mengakhiri hidupnya, alias bunuh diri.
Awal tahun ini, saya memutuskan mengundurkan diri dari perusahaan tempat saya bekerja. Sedikit latar belakang: tahun 2018, owner perusahaan tersebut meminta saya kembali bergabung bersama beliau. Jadi ceritanya, tahun 2013-2015 saya sempat bekerja untuk beliau dan kemudian resign untuk pindah ke Jakarta dan bekerja secara remote dengan salah satu perusahaan teknologi Malaysia.
Banyak yang terheran-heran saya kembali bergabung dengan beliau di tahun 2018, dan saya pun akhirnya memaklumi keheranan mereka. Karena berbagai hal yang belum bisa saya sebutkan di sini, singkat cerita, saya memilih untuk mengundurkan diri.
Gila, ya? Di saat begitu banyak orang butuh pekerjaan di masa pandemi yang amat sulit ini, saya malah memutuskan melepas pekerjaan saya.
Dan sampai sekarang saya tidak menyesali keputusan saya untuk resign itu. Kalau ada yang saya sesali adalah keputusan saya menuruti permintaan beliau untuk kembali di tahun 2018.
Hari-hari setelah saya resign dan menjadi full-time freelancer (pekerja lepas penuh waktu, ada ya istilah seperti ini?), tidaklah ringan tentu saja. Menjadi freelancer dengan pemasukan yang tidak tetap, sementara beban hidup tambah berat, membuat langkah saya sempoyongan.
Ditambah lagi hadirnya beberapa masalah pribadi, seputar percintaan, dan jati diri.
Saya tumbang. Saya nyaris menyerah. Hari-hari saya penuh dengan tangisan. (Ya, saya nggak malu mengakui itu.)
Untung saya punya banyak teman baik. Yang selalu siap membantu saya dengan cara mereka masing-masing.
Karena mereka, saya mampu bertahan, sampai sekarang.
*****
Tentu saja, selain orang-orang baik, tahun 2021 ini menyuguhkan pula serentetan orang-orang yang kurang baik, atau malah satu-dua orang jahat yang jahatnya minta ampun (ini bukan pendapat saya pribadi, beberapa teman saya juga berkasus soal pekerjaan dengan orang jahat ini dan mereka setuju dengan saya bahwa ini orang memang jahat benar).
Beberapa rencana terlaksana, beberapa rencana gagal.
Ada lagi kejadian tak terduga yang sampai meluluhlantakkan hidup saya. Saya jadi limbung, kehilangan pegangan.
Tanpa saya sadari, saya kembali ke diri saya sepuluh tahun lalu.
Yang mudah marah, mudah patah.
Lagi-lagi, sekian teman baik hadir untuk mendampingi saya. Satu-dua malah kehadirannya tidak saya sangka.
Saya berjuang keras menata hati. Menata diri. Sehingga satu-dua bulan ini, diri saya kembali. Beberapa teman baru, kenalan baru, yang bertemu saya belakangan ini, menangkap kesan bahwa saya orangnya baik, melindungi, sabar, tidak pernah marah. Memang diri seperti inilah yang saya inginkan. Saya tidak ingin berlama-lama menjadi Bayik yang dulu, yang sering merasa sendiri dan merasa tersalahpahami.
*****
Ada satu lagu yang mendampingi saya di tahun 2021 ini. Lucunya, lagu ini sebenarnya sudah rilis tahun kemarin. Tapi saya baru paham benar artinya di pertengahan tahun ini, saat pergulatan saya sedang hebat-hebatnya.
Dan bagi saya – seperti juga jutaan orang lainnya – lirik lagu ini pas banget menggambarkan hidup saya. Karena itu, boleh dibilang lagu ini adalah soundtrack hidup saya di tahun 2021.
“This Is Me Trying” adalah track kesembilan dari album “Folklore” yang dirilis Taylor Swift di bulan Juli 2020.
Awalnya saya pikir, lagu ini berkisah tentang percintaan dan patah hati, seperti spesialisasi si Mbak Tay.
Ternyata maknanya jauh lebih dalam dari sekadar cinta-cintaan.
“I think I was writing from three different characters’ perspectives, one who’s going through that; I was channeling the emotions I was feeling in 2016, 2017, where I just felt like I was worth absolutely nothing. And then, the second verse is about dealing with addiction and issues with struggling every day. And every second of the day, you’re trying not to fall into old patterns, and nobody around you can see that, and no one gives you credit for it.
— Swift’s on “This Is Me Trying”, Entertainment Weekly
Dengan segala pergulatan saya, plus kesadaran bahwa saya semakin menua, rasanya bisa dipahami bila saya sering merasa saya bukan siapa-siapa. Seperti digambarkan di bait pertama berikut ini.
I’ve been having a hard time adjusting
I had the shiniest wheels, now they’re rusting
I didn’t know if you’d care if I came back
I have a lot of regrets about that
Pulled the car off the road to the lookout
Could’ve followed my fears all the way down
And maybe I don’t quite know what to say
But I’m here in your doorway
Masalahnya adalah, saya belum pernah menjadi bukan siapa-siapa. I am always a somebody. Seseorang yang dikenal berhasil dalam hidup, dalam pekerjaan, dan dalam percintaan.
Sekarang, saya merasa kejayaan saya sudah berkarat. Sering kali, saya merasa saya sudah tidak relevan.
They told me all of my cages were mental
So I got wasted like all my potential
And my words shoot to kill when I’m mad
I have a lot of regrets about that
I was so ahead of the curve, the curve became a sphere
Fell behind all my classmates and I ended up here
Pouring out my heart to a stranger
But I didn’t pour the whiskey
Bait di atas adalah yang dipersembahkan Taylor untuk para pecandu dan mereka yang punya masalah kesehatan mental. Mereka yang setiap hari harus mengalami pergulatan tanpa henti.
Bagi saya pribadi, lirik bait kedua ini benar-benar menohok. Saya punya banyak potensi, namun saya menyia-nyiakan potensi saya dengan berbagai cara. Sabotase diri sendiri adalah keahlian saya.
Seorang teman kuliah yang menjadi CEO satu perusahaan, beberapa tahun lalu mengajak saya makan siang. Dia bilang, “Kamu itu pintar, Yik. Kalau aku … aku bisa seperti sekarang karena aku kerja keras. Aku tidak sepintar kamu.”
Tapi lihatlah, siapa saya sekarang ini. Saya yang selalu sekolah di sekolah favorit, dan berhasil lolos ujian masuk perguruan tinggi di Universitas Gadjah Mada, namun menyia-nyiakan pendidikan saya dan memilih menjadi gila karena catur.
Dibanding teman saya yang CEO itu, yang katanya setoran pajak penghasilan dia melebihi beberapa bulan gaji saya waktu itu, siapalah saya.
Pertengahan tahun ini, seorang mantan boss di masa lalu mengajak saya untuk membantu dia di usaha barunya. Dia memegang lisensi salah satu produk dari Thailand. Sebulan dua bulan, saya jabanin. Bulan ketiga, ketika lagi-lagi satu hantaman datang tanpa saya duga, saya terkapar dan lagi-lagi, menyia-nyiakan pekerjaan yang sudah saya pegang. (Untung mantan boss saya itu adalah orang paling baik hati di seluruh dunia. Dia memaklumi kondisi hati saya yang porak poranda, dan hanya berpesan bahwa, “Life must go on.”)
Sekian banyak peluang dan kesempatan yang saya hancurkan.
Tapi Tuhan itu baik. Lagi-lagi, saya diberi kesempatan. Sehingga, seperti outro yang menutup lagu “This Is Me Trying”, saya bisa bersenandung bahwa, “At least I’m trying.”
Karena hanya itu yang saya bisa: mencoba. Mencoba untuk tetap berusaha, sekecil apapun usaha itu.
Ada hari-hari di mana saya memberi selamat pada diri sendiri, hanya karena saya berhasil bangun dari tempat tidur dan berhasil melangkah ke warung kopi langganan tempat saya biasa bekerja.
Satu hal kecil yang bagi orang mungkin disalahartikan sebagai, “halah, itu kamunya aja yang malas” tapi bagi saya yang mengalami, hal kecil seperti bangun dari tempat tidur itu butuh usaha yang luar biasa.
Karena itu, saya paham jika Taylor Swift bilang, “And every second of the day, you’re trying not to fall into old patterns, and nobody around you can see that, and no one gives you credit for it.”
Oya, lagu “This Is Me Trying” ini bagi saya seperti monolog. Saya bercerita pada diri saya sendiri di lagu ini. Yang dimaksud dengan you dalam lagu ini, misalnya dalam chorus “I just wanted you to know that this is me trying” adalah diri saya sendiri, yang sempat saya tinggalkan karena kealpaan dan karena larutnya saya dalam kegilaan pikiran.
*****
Setelah bulan-bulan yang penuh drama, pengkhianatan, kekejian dan kesalahpahaman, dua bulan terakhir di penghujung 2021 sungguh merupakan berkah bagi saya.
Masalah masih tetap ada. Pergulatan batin masih menghampiri setiap hari, namun semakin mereda.
Seperti kata pepatah, setelah hujan badai, terbitlah pelangi. Saya mulai bisa melihat pelangi di perjalanan saya tahun ini. Dan semoga tahun depan, hidup saya benar-benar kembali tertata dengan menyapu bersih segala masalah dan penyakit hati.
Terima kasih, teman-teman baik yang selalu mempercayai saya. Terima kasih, diri sendiri yang selalu setia menanti saya untuk kembali.
Terima kasih, 2021.