Mungkin aku nggak akan pernah tercatat dalam sejarah, karena aku memang bukan pelaku. Aku tak punya apa-apa untuk dibanggakan, aku ini orang pinggiran.
Telah lewat masa ketika aku berambisi mengubah dunia, karena aku tersadar, mengubah diri sendiri saja sulit, bagaimana aku bisa mengubah orang lain?
Pun telah tanggal niatku untuk menjadi juara, karena energiku kian menipis, dan 64 petak gelap terang itu telah hambar, tiada sensasi lagi, mungkin karena kekalahan demi kekalahan memurukkan aku ke pembuangan.
Mungkin aku nggak akan pernah tercatat dalam sejarah, karena kini aku lebih nyaman duduk di bangku mengamati lalu lintas orang. Maafkan jika sesekali terucap: “Dahulu kala….” Aku tahu anak muda benci kata ‘dahulu’. Sebagaimana mereka benci pepameran sesuatu yang telah usang.
Telah lungkrah mimpi demi mimpi dan penyesalan hanya segaris tipis, itupun timbul tenggelam sehingga aku kira ia tak ada. Ya, aku menghargai yang telah kulakukan dan tidak kulakukan, karena semua itu membawaku sampai ke titik ini.
Membawaku kepadamu.
Aku harap kamu nggak keberatan apabila mungkin, aku nggak akan pernah tercatat dalam sejarah. Ya, siapalah kekasihmu ini, kecuali timbunan kata yang mulai berkarat sampai kamu datang dan menyulapku menjadi aku yang takkubayangkan adalah aku versi terbaikku.
Aku pun, kini, tak berniat menjadi sejarah bagimu. Bawa aku sepanjang jalanmu, ukir aku di hatimu, dan biarlah orang-orang bertingkah seakan merekalah pemilik Semesta, biarlah orang-orang menipu diri dengan memakai topeng bermacam rupa, biarlah dunia sebagaimana maunya, yang terpenting aku adalah kekinian bagimu. “Kini” takkan pernah usang menjadi sejarah, selama kita setia berdangdut ria menyiraminya dengan cinta.
Dunkin Jimbaran,
21 Januari 2014
Sudah muntah membaca tulisanku ini, Sayang? Maafkan. Nggak ketolong lagi kedangdutan dan kegaringanku ini.