Pernah baca kutipan tentang hati ibarat cermin? “Ambil cermin lalu jatuhkan ke lantai. Pecah? Lalu ucapkan maaf ke cermin tersebut. Apa utuh kembali? Seperti itulah hatiku.”
Woh. Gitu ya. Pernah mengangguk-angguk mengamini? Seperti saya, sampai siang tadi.
Iya, ceritanya pas lagi nyetir, kok ya keingetan kutipan ini yang rajin lalu lalang di jagad Twitter. Trus tiba-tiba kepikiran, “Lah, salah sendiri kok mau kasih hati buat dihancurin?”
Andai hati itu cermin, ya jelaslah si cermin ndak bisa nolak, mau dijatuhkan ke lantai, mau dibawa ke pantai, mau dipajang di dinding tapi nggak pernah dipakai, terserah-serah deh.
Tapi kita ‘kan bukan benda mati kayak cermin. Kita bisa bilang iya, bisa bilang nggak. Bisa menolak untuk dijatuhkan. Bisa menuntut untuk selalu dibersihkan, jangan cuma dipajang thok.
Tapi ‘kan….
Tapi ‘kan waktu itu kita nggak menyangka bakal digituin. Kita percaya dia akan menjaga dan merawat cermin itu sebaik janji manisnya.
Kalau akhirnya cermin hancur berkeping-keping, berarti kita percaya pada orang yang salah dong? Salah siapa, kita yang percaya atau dia yang menyalahgunakan kepercayaan kita? Kalau kita pada awalnya nggak percaya, nggak mungkin dia bisa menyalahgunakan to, lha wong kita percaya saja nggak.
Jadi, daripada mengiba-iba mengibaratkan hati sebagai cermin, lebih baik katakan: “Kupercayakan cermin ini padamu. Ternyata kau tega jatuhkan cermin ke lantai. Pecah? Coba, ucapkan maaf ke cermin tersebut. Apa utuh kembali? Seperti itulah hatiku.”
Setelah itu, maafkanlah dia yang menyalahgunakan kepercayaanmu, tapi jangan lupa memaafkan diri sendiri yang sudah tolol mempercayai orang yang salah. Lalu melangkah maju, upgrade hatimu agar nggak seringkih cermin, jadikan hatimu bagai baja yang seratus tombak pun mental nggak bisa melukainya.
Ya tapi ‘kan lebih dari 140 karakter mbakyu, nggak muat untuk sekali twit. Well, kultwit aja, beres toh?