Ini lanjutan dari posting saya sebelum ini (terima kasih pada Pondrafee yang telah meninggalkan komentar dan memberikan ide untuk lanjut posting tentang bagaimana kita bisa bertahan hidup selama pandemi). Tak terasa ya, sudah bulan September. Sudah enam bulan sejak COVID-19 dideklarasikan kehadirannya di Indonesia. Dan kita masih hidup saja, puji Tuhan. (Kalau masih baca posting saya ini, berarti masih hidup dong.)
Kalau di tulisan saya sebelum ini, saya menyinggung tentang kiat “Bersiap, Bertahap, Bertahan“, maka kali ini saya serieus (niatnya) membahas kiat untuk bertahan hidup selama pandemi.
Tentunya kiat ala saya. Yang bukan siapa-siapa.
Ada dua, eh tiga, ancaman yang bisa menghabisi hidup kita.
Pertama, jelas, coronavirus dan penyakit jahanam bernama COVID-19 yang sampai tulisan ini ditulis masih membuat Indonesia merah membara.
Yang kedua, masalah ekonomi. Bisa jadi, beberapa orang yang beruntung lolos dari terkaman coronavirus, malah menemui nasib tragis terbelit masalah ekonomi.
Ancaman ketiga, itu buat penutup tulisan ini saja.
Yuk, kita bahas atu-atu.
Disclaimer: Tulisan ini tidak ditujukan bagi mereka yang saat ini masih santai menghadapi COVID-19 di rumah atau kost mewahnya, masih diberkati gaji penuh dan kerja dari rumah, masih terima THR penuh bahkan terima bonus. Saya ragu kalian bisa relate dengan tulisan saya ini.
Table of Contents
ToggleAncaman pertama: coronavirus
Bertahan agar tidak terkena COVID-19 ini susah-susah gampang. Gampang sih teorinya. Social distancing, berdiam di rumah saja, dan pakai masker kalaupun terpaksa keluar rumah.
Gampang to?
Nyatanya toh, tidak semudah itu. Banyak tuntutan yang membuat kita harus keluar rumah. Roda ekonomi yang harus berputar memaksa orang-orang untuk bergerak.
Entah itu para pedagang yang kalau tutup lapak sehari aja, bisa manyun karena nggak dapat penghasilan.
Atau pekerja kantoran yang tidak mendapat kelonggaran dari kantor untuk kerja di rumah.
Atau para ojol yang harus jalan terus kalau mau dapat duit buat makan keluarganya.
Untuk mereka, mau bilang apa lagi? Diam di rumah dan mati karena perut lapar? Ogah, pasti.
Jadi ya mau nggak mau harus berjibaku menghadapi jalanan, transportasi umum, ruang umum dan kantor, dibayang-bayangi oleh coronavirus yang seakan-akan siap nemplok kapan saja.
Kalau sudah gitu sih, saya pasrah saja.
Yang penting, tetap persiapkan diri sebaik-baiknya. Pakai masker. Jaga jarak. Sering cuci tangan. Sering ganti baju kalau diperlukan. Pulang dari kerja, nggak perlu nongkrong dulu. Langsung pulang biar cepat istirahat.
Dan buat pekerja kantoran yang mau nggak mau harus naik ojol, sediakan helm pribadi.
Jangan lupa untuk makan teratur. Tidur teratur. Banyak minum air putih. Kalau bisa, kurangi merokok.
Duh, jadi bawel gini. Maafkan.
Ancaman kedua: ekonomi
Sebelum jadi garing bahasannya, kita lanjut aja ngobrolin kiat menghadapi ancaman kedua: ekonomi.
Beberapa negara sudah resmi menyatakan diri terkena resesi.
Pak Mahfud bilang sih, bulan September ini 99,99% kemungkinan Indonesia masuk resesi. #sedih
Jangan panik. Resesi is just resesi, bukan berarti langsung terjadi krisis ekonomi (kecuali kalau isu ini digoreng oleh you-know-who yang memang menginginkan kehancuran Indonesia).
Tapi lupakanlah soal negara. Kita bicara tentang diri kita sendiri.
PHK sudah jadi momok yang tidak lagi menakutkan. Lha iya, saking terbiasanya dengar teman jadi korban PHK, akhirnya sikap kebanyakan kita ya gitu: mau apa lagi?
Gaji dipotong tanpa kejelasan kapan bisa kembali full, masih harus disyukuri karena berjuta-juta orang di luar sana sudah tak bergaji sama sekali.
Belum lagi mereka yang berkecimpung di dunia pariwisata. Apes. Pariwisata termasuk industri yang paling parah terhantam pandemi.
Ribuan hotel dan biro perjalanan wisata tutup.
Karyawan dirumahkan. Banyak yang dipecat tanpa pesangon. Bahkan, banyak pula THR yang tidak terbayarkan. Mau bilang apa? Hanya bisa menelan ludah meski makin lama makin pahit aja ludah ini rasanya.
Toh, kita tetap harus bergerak untuk tetap hidup.
Diam berarti mati.
Bagi mereka yang menjadi korban PHK, kehilangan pekerjaan, atau mendapat potongan gaji yang nggak kira-kira, ingat satu hal: tetap semangat!
Beh. Enak aja ngomongnya ya.
Iya, ngomong memang enak. Mangkanya banyak yang tergiur jadi tukang kecap alias jualan abab, entah itu jadi motivator, Youtuber, podcaster, blogger (tidak semua mereka cuma tukang kecap lho, ini cuma permisalan aja).
Eniwei, saya serius.
Saya pernah merasakan hidup tanpa semangat. Benar-benar “nglumpruk” kalau bahasa Jawa. Kayak gimana ya… seperti kain basah yang hanya bisa tertumpuk tanpa mampu protes kenapa dia basah.
Rasanya, kalau boleh mati, mati aja deh!
Rasanya, nggak ada alasan lagi buat hidup.
Beneran, nggak ada semangat hidup itu nggak enak banget. Kalau langsung mati sih, enak. Tapi ‘kan tidak semudah itu ya untuk mati.
Di satu titik, saya tersadar. Mau ngapain sekarang? Mau diam telentang terus dengan pikiran hampa? Perut lapar itu mau dibiarkan saja? Emangnya tahan?
Ya enggaklah. Siapa yang tahan dengan perut lapar. Terpaksa bangun, bikin indomie buat isi perut sekadarnya, lalu mengumpulkan tekad untuk bikin langkah selanjutnya.
Pokoknya, semangat dulu aja deh!
Masa’ kita jadi orang kalah dengan gampang?
Pasti ada jalan.
Nah, setelah semangat terkumpul, tengok kiri kanan siapa tahu ada jalan terbuka buat kita.
Kalau kita melamar sana-sini belum dapat kerjaan juga, siapa tahu, ini saatnya kita menciptakan pekerjaan buat kita sendiri.
Kalau kemarin-kemarin kita punya bakat yang tersingkirkan karena kita sibuk kerja, siapa tahu, ini saatnya kita membangkitkan kembali bakat kita dan bisa kita jual sebagai jasa.
Kalau merasa nggak punya bakat, ya belajar. Atau cari yang sekiranya lebih sesuai bagi diri kita.
Saya sendiri tidak menganggap diri saya punya jiwa sales. Saya nggak bisa jualan. Tapi saya lumayan gape soal pemasaran. Tepatnya, digital marketing. Jadi, daripada memaksakan diri untuk berjualan, mending saya menjual jasa sebagai digital marketer.
Itu sebagai contoh saja sih.
Pertahankan semangat, dan tetap bersyukur.
Saya dibesarkan dalam kesederhanaan, dan orang tua selalu menekankan pada saya: “selalu bersyukur dalam setiap perkara”. Karena itu cukup mudah bagi saya menemukan alasan untuk tetap bersyukur, meskipun keadaan lagi jungkir balik nggak keruan.
Tapi yang mudah bagi saya, belum tentu mudah bagi yang lain, ya.
Kemampuan untuk selalu bersyukur itu bisa dilatih kok. Dan lama kelamaan, bakal otomatis kayak bernafas aja.
Saya nggak tahu, semangat dan syukur ini duluan yang mana datangnya. Mungkin saling melengkapi. Kita bersemangat karena menyadari ada hal-hal yang masih bisa kita syukuri. Atau kita bersyukur karena kita masih bisa tetap semangat. Mbuh, lah.
Tetap semangat dan memelihara rasa syukur akan menimbulkan kegembiraan.
Coba lihatlah mereka yang kayaknya gembira mulu. Bisa dipastikan dia juga semangat, dan pasti tidak lupa bersyukur.
Dan kegembiraan menjadi faktor penting dalam imunitas, lho. Googling aja coba.
Memiliki ketiga hal di atas: semangat, syukur dan kegembiraan, belum cukup untuk mengobati perut lapar.
Nggak usah munafik lah. Kita hidup butuh uang untuk beli makan (kecuali mereka yang punya lahan luas dan bisa memenuhi kebutuhan pangan sendiri). Memangnya, uang bisa didapat hanya dengan semangat?
Tentu tidak.
Karena itu, kita perlu merumuskan langkah taktis. Sekilas saya singgung di atas: kalau tidak diterima bekerja di mana-mana, mungkin ini saatnya kita membuka lapangan pekerjaan untuk diri kita sendiri?
Peluang bisnis banyak, apalagi di jaman sekarang. Teknologi memudahkan kita untuk melakukan nyaris apa saja.
Mau bikin blog seperti Balepoint ini, dalam lima menit sudah bisa kelar.
Mau bikin online shop sendiri, sehari pun bisa jadi.
Tapi, itu ‘kan butuh modal?
Iyalah. Mau mancing ikan pun butuh modal cacing sebagai umpan. Atau modal tombak, kalau kalian nggak doyan mancing tapi lebih suka menombak ikan.
Modalnya bisa jadi nggak gede kok. Malah terkadang sebatas kuota internet saja.
Misalnya jualan di media sosial kayak Instagram, Twitter dan Facebook.
Yang penting ada kemauan. Pasti ada jalan.
Yang penting usaha. Enyahkan rasa malu.
Banting setir, dari yang biasanya kerja kantoran, jadi jualan peyek. Why not?
Yang biasanya enak-enak di kantor ber-AC, jadi personal shopper yang keluar masuk pasar. Kenapa tidak?
Banyak peluang di sekitar kita. Manfaatkan, agar kita bisa bertahan hidup.
Poin terakhir dari saya tentang bagaimana bertahan selama pandemi ini, kedengarannya agak klise: tetaplah memberi.
Memberi sedekah, misalnya.
Kalau keadaan ekonomi kita sudah benar-benar nggak memungkinkan, berilah apa yang kita bisa.
Memberi semangat pada teman yang sedang berusaha jualan.
Menyumbang kritik dan saran pada mereka agar usaha mereka semakin lancar.
Kalau ada yang perlu tenaga, sumbangkanlah tenaga kita tanpa memikirkan imbalannya, jika memungkinkan.
Memberi komen di blog posting ini, misalnya, juga salah satu pemberian yang nggak butuh banyak tenaga dan waktu.
Ancaman ketiga
Di atas saya singgung ada tiga ancaman yang harus kita hadapi selama pandemi ini.
Yang pertama: COVID-19.
Kedua: kesulitan ekonomi.
Ancaman ketiga adalah: kebodohan.
Lho, apa hubungannya pandemi dengan kebodohan?
Pernah lihat poster ini pasti ‘kan ya? Ini yang diunggah oleh abang pujaan, Hotman Paris di akun Instagram beliau.
Well, semoga poster ini sudah cukup jelas. Tapi kalau belum jelas, besok-besok saja kita bahas. Biar saya ada semangat untuk menulis lagi.
Semoga man-teman semua bisa mengalahkan ketiga ancaman di atas, dan tetap selamat tak kurang suatu apa sampai ini semua berakhir.
Tetap semangat, tetap sehat!
Tabik!
satu Respon
Terharu saat baca ada nama blog saya disebut di postingan ini. Terima kasih, Kak. Tambah terharu lagi pas baca di bagian “memberi”. Mungkin benar adanya kalau di saat seperti inilah tindakan “memberi” jadi sangat sangat sangat sangat dibutuhkan. Tindakan “memberi” bisa berupa membeli dagangannya pedagang-pedagang kecil yang lapaknya mulai sepi karena terdampak pandemi. Setidaknya itu sudah membantu perputaran ekonomi mereka.
Semoga postingan blog ini bisa menginspirasi pembaca untuk bertindak.