Setelah Go-Jek dan Uber, kini gerombolan Grab turut meramaikan dunia aplikasi digital terutama di Jakarta. GrabTaxi telah diluncurkan sedari lama dan GrabBike pun menjadi kompetitor ketat Go-Jek, dan sekarang lengkap sudah dengan kehadiran GrabCar di Bali dan Jakarta. Kalau sebelumnya saya menguraikan keuntungan menggunakan Uber, kini saya bakal beropini tentang GrabCar.
Meskipun pihak GrabCar menolak disamakan dengan Uber, tetap saja bagi saya selaku pengguna, dua aplikasi ini sama serupa walaupun memang sih, tetap ada pembedanya. Kalau kita runut satu persatu, persamaan dari keduanya adalah:
- Uber dan GrabCar adalah mobile application yang ditujukan bagi User yang membutuhkan sarana transportasi berupa mobil, namun bukan taksi.
- User yang hendak memesan mobil harus menggunakan aplikasi dan tidak bisa memesan secara manual, lewat telpon misalnya atau melambaikan tangan di pinggir jalan selayaknya kalau mencegat taksi.
- Pemakaian Uber dan GrabCar terekam baik dan di akhir layanan, kita sebagai pengguna bisa mendapatkan invoice lewat email. Praktis buat kaum pekerja yang butuh bill untuk di-reimburse ke kantor, bukan?
Sedangkan perbedaannya sebagai berikut:
- Uber menggunakan metode pembayaran kartu kredit, sedangkan GrabCar menggunakan uang tunai.
- Dalam perhitungan tarif, Uber menghitung tarif awal + jarak + waktu. Sedangkan GrabCar lebih sederhana menggunakan sistem point-to-point.
Bagi saya, dua perbedaan di atas justru menjadikan Uber lebih unggul di mata saya. Okelah, untuk faktor kartu kredit, GrabCar lebih unggul bagi mereka yang anti kartu kredit atau lebih suka menggunakan uang cash. Namun bagi saya yang sudah jenuh dengan kata-kata supir “maaf nggak ada kembalian” jelas lebih senang menggunakan Uber. Tanpa perlu menenteng uang tunai, saya bisa pergi ke mana saja – selama saldo kartu kredit saya mencukupi, pastinya. Pun kalau rute yang saya tempuh harus masuk tol, saya nggak perlu menyiapkan uang tunai karena semua sudah dimasukkan dalam perhitungan tarif Uber. Praktis, ‘kan?
Perbedaan kedua semakin membuat saya jatuh cinta pada Uber. Sistem point-to-point yang diterapkan GrabCar terasa nggak fleksibel buat manusia impulsif dengan sejuta rencana seperti saya. Kejadian nih waktu saya pertama kali order GrabCar bersama partner. Rencananya dari Setiabudi, partner saya akan kembali ke kantornya di Kemang, sedangkan saya ‘nebeng’ untuk berhenti di Episentrum Rasuna. Kalau pakai Uber, ini nggak masalah. Saya bisa berhenti di banyak titik dan tarif akan menyesuaikan. Kalau dengan GrabCar, ternyata nggak mungkin. Dalam kasus saya dan partner, berarti saya harus memesan GrabCar untuk rute Setiabudi – Episentrum, lalu partner harus pesan lagi untuk rute Episentrum – Kemang. Males yaaaaaa.
Belum lagi kalau ditinjau dari kacamata driver. Kalau nggak salah nih, menurut penuturan driver GrabCar, kalau kita terjebak macet ya apes buat si driver karena tarif yang sudah di-set sedari awal nggak akan berubah. Berbeda dengan Uber, kalau kita kena macet, otomatis waktu pakai kita bertambah dan itu akan membuat tarif membengkak pula.
Seorang driver GrabCar pernah bercerita pula, bahwa bagi mereka lebih aman untuk ‘mengangkut’ penumpang Uber. Mengapa? Karena ada jaminan kartu kredit. Paling nggak, data penumpang sudah lengkap. Beda dengan GrabCar, selayaknya penumpang anonim aja, nggak jelas. Maka dari itu, jarang driver GrabCar yang mau beroperasi di tengah malam, bayangkan kalau dia mengangkut gerombolan nggak jelas, ‘kan berabe? Masih ingat ‘kan dengan kasus perompakan taksi sekian waktu lalu? Nah, kalau pakai Uber, tengah malam pun nggak masalah karena sekali lagi, data-data penumpang sudah tersimpan jelas.
Bagi saya, percuma pihak GrabCar mau berkilah seperti apapun bahwa GrabCar tidak sama dengan Uber. Lha wong pada prakteknya, driver GrabCar banyak pula yang masih aktif sebagai driver Uber kok. Saya pernah memesan GrabCar. Setelah mendapat driver, saya merasa nggak asing dengan plat nomor mobilnya. Ternyata benar, begitu mobil datang, saya masuk mobil dan bercakap dengan drivernya, saya mengenali dia sebagai driver Uber yang pernah melayani saya sekian hari sebelumnya.
Menarik melihat perkembangan dunia mobile application di Indonesia. Ujung-ujungnya sebenarnya yang diuntungkan adalah konsumen seperti saya. Tinggal pinter-pinter saja memilah dan memilih mana layanan yang layak digunakan. Sambil bersiap-siap, setelah Uber dan GrabCar, siapa tahu bakal datang Gruber*, entah dengan pembeda yang apa lagi.
*Note: Gruber ini cuma rekaan saya semata, tapi kalau ada yang tahu apakah memang ada aplikasi dengan nama Gruber, monggo update saya ya.
Tinggalkan Balasan