Tidak terasa, kami sudah memasuki hari kelima perjalanan. Sudah mulai sedih karena mendekati saat-saat terakhir menikmati Ho Chi Minh City. Hiks. Hari ini daftar wajib yang harus kami kunjungi adalah Bitexco Tower setelah kemarin-kemarinnya tertunda karena cuaca nggak asik. (Cerita dari hari pertama bisa kamu baca mulai dari sini.)
Table of Contents
ToggleSarapan di Banh Mi Mimi Yang Homey
Pagi hari, kami meluncur menuju district tujuh tepatnya di Crescent Mall. Janjian sama Martha. Yang adalah Martha juga janjian dengan temannya, Mbak Lyzl, yang berjanji membawa kami ke tempat makan Banh Mi terlezat di Ho Chi Minh.
Perjalanan dari Bay Hotel menuju Crescent Mall kira-kira setengah jam tanpa macet. Naik Grab, pastinya.
Mbak Lyzl ternyata orang Indonesia yang sudah bertahun-tahun tinggal di Ho Chi Minh. Dia mengantar kami ke satu tempat yang kalau nggak diantar, kami bakalan nggak nemu deh hahaha.
Tempat yang kami tuju kedai rumahan gitu. Terletak di satu kompleks perumahan gede di daerah Phu My Hung – konon daerah favorit kediaman para ekspat.
Tempat ini konon siangan dikit udah tutup saking larisnya. Jadi disarankan ke sana sebelum jam 10 pagi.
Kami memesan banh mi, sandwich ala Vietnam berisi daging babi dan sayur-sayuran. Banh mi memakai roti semacam baguette, hanya saja terbuat dari campuran tepung beras dan gandum. Roti ala baguette ini mulai dikenal saat Perancis menguasai Vietnam di abad 19.
Di Kedai Mimi, baguette dibuat home made jadi selalu fresh. Karena itu pastinya, saya yang bukan pecinta sayuran ini, bisa melahap habis banh mi tanpa sisa.
Kami juga memesan noodle soup yang uwenak banget sampai kuah pun habis tak bersisa. Mi terbuat dari tepung beras dan home made pun.
Puas menikmati sarapan endes yang nggak kami sangka-sangka karena nggak tahu sebelumnya ada kedai rumahan seperti Banh Mi Mimi ini di Ho Chi Minh, Mbak Lyzl mengajak kami berkunjung ke satu pasar tradisional. Niatnya sih cari com tam di sana, ternyata udah kehabisan. Jadi kami tour de pasar sejenak.
Tour de pasar tradisional
Pasarnya nggak jauh beda dengan pasar tradisional di Indonesia. Namun sayur-sayur yang digelar di sana tampak segar menggoda. Dan tentu saja sosis babi yang bergelantungan, membuat kami ngiler.
Usai tour singkat ini, Mbak Lyzl berbaik hati banget mengantarkan kami kembali ke Bay Hotel. Makasih banyak ya, Mbak! Kami berpisah dengan Martha dan bikin janji bertemu di malam hari.
Pindah ke hotel terakhir
Tiba saatnya check-out dari Bay Hotel. Kami langsung menuju Duc Vuong Hotel, yang sudah kami pesan malam sebelumnya. Sampai di sana, kamar kami belum siap, jadi kami titip tas di resepsionis lalu mencari kesibukan. Di seberang hotel tampak kedai dessert ala Korea. Di sanalah kami menghabiskan waktu siang itu.
Tiba saatnya check-in. Begitu kami sampai di kamar, kami langsung tepar dan tertidur. Mungkin karena hawa panas luar biasa siang itu. Bangun-bangun, kami tersadar sudah hampir jam lima sore! Waduh. Saatnya mengunjungi Bitexco Tower.
Bitexco Tower salah satu simbol kemajuan bangsa Vietnam
Bitexco Tower ini terletak di dekat hotel malam pertama kami menginap, Della Boutique Hotel. Ada shopping mall dan kafe-kafe. Tujuan kami adalah Skydeck di lantai 49. Sampai di tower, kami menuju loket untuk membeli tiket masuk yang lumayan mahal sih, VND 200.000 per orang.
Dari lantai 49, kita bisa menikmati pemandangan seantero kota Ho Chi Minh. Disarankan mengunjungi Bitexco saat sore menjelang matahari terbenam. Kita bisa menikmati pemandangan indah dan juga saat lampu-lampu kota mulai menyala menandai malam tiba.
Ada papan informasi apabila kita ingin mengetahui sejarah pembangunan Bitexco Tower. Dimulai sejak 2005, gedung berlantai 68 ini selesai dibangun pada tahun 2010 dan menjadi gedung tertinggi ketiga di Vietnam dengan tinggi 262.5 meter. Tidak salah apabila Bitexco Tower dikatakan sebagai “A proud symbol of Vietnam’s new wave of growth” karena dari lantai 49 ini, saya merasa minder menjadi bangsa Indonesia. Dibandingkan dengan Vietnam yang maju pesat meskipun luluh lantak gara-gara Perang Vietnam, kita di Indonesia masih saja berantem dengan bangsa sendiri sehingga kemajuan yang harusnya bisa kita raih, malah tertunda sekian lama.
Selain berkeliling lantai 49 menikmati hamparan kota di bawah, ada mini theater dengan display baju-baju tradisional Vietnam dari dahulu kala hingga masa modern sekarang. Lumayan sih duduk melepas lelah menonton video singkat tentang perjalanan fashion Vietnam. Kalau nggak salah, ini adalah sebagian display dari Ao Dai Museum yang terletak di luar kota Ho Chi Minh.
Keluar dari mini theater ini, Ho Chi Minh sudah dirangkum malam sepenuhnya. Pemandangan jadi tambah indah dengan lampu-lampu kota bertebaran.
Saat selesai mengitari lantai 49, ternyata ada toko souvenir dan juga tempat kami bisa mencetak foto yang diambil sebelumnya saat kami baru saja tiba. Kita bisa memilih background foto sesuai yang kita inginkan, seputar Bitexco Tower tentunya, dan mencetak foto dengan biaya VND 60.000 per lembar. Bagus buat kenang-kenangan.
Ternyata juga ada coffee shop di atas observation deck. Kami naik dan disambut oleh waitress yang menawarkan apabila kami tertarik untuk mencoba bar di lantai 52. Apakah tampang kami lebih cocok untuk duduk di bar, ketimbang duduk santai menikmati kopi? Tentu saja kami iyakan.
Bar penuh sesak oleh pengunjung, kebanyakan orang asing dan sedikit orang lokal. Setelah menunggu sekian lama, kami beruntung mendapat meja di dekat jendela sehingga bisa sepuasnya menikmati lampu-lampu kota Ho Chi Minh.
Puas menikmati live music plus martini sampai tetes terakhir (nggak mau rugi, udah bayar mahal masa’ harus cepat-cepat meninggalkan tempat), kami pun turun dengan lega dan puas.
Banyak turis yang memilih untuk langsung menuju bar di lantai 52. Jadi nggak perlu bayar untuk observation deck. Tapi menurut saya sih, kalau bisa bagusan ke observation deck di lantai 49 dulu. Lebih puas untuk menikmati pemandangan. Abis itu baru bersantai di coffee shop atau bar.
Hang out like locals
Dari Bitexco Tower, kami janjian ketemu Martha (lagi) di Ho Chi Minh Square tempat kami kesasar pertama kali di hari kedua. Ternyata dari Bitexco tinggal jalan lurus sampai deh di Ho Chi Minh Square.
Menyenangkan sekali berjalan di daerah ini. Jalanan bebas mobil. Turis maupun penduduk lokal berbaur. Maklum, saat itu malam minggu. Malam terasa meriah sekali.
Kawasan ini dikelilingi oleh bangunan-bangunan historikal seperti Town Hall, shopping arcade dan juga hotel-hotel mewah seperti Rex Hotel. Modernitas dan kemewahan bersanding dengan keriaan penghuni kota dan nilai tradisional bangunan tua. Suasananya mirip Fatahillah Square di Jakarta, bedanya yang ini lebih bersih, lebih tertata dan ada sentuhan modernitas.
Kami bertemu dengan Martha, namun sayangnya hujan mulai turun. Karena masih rintik, kami memberanikan diri untuk mencari makan malam yaitu… KFC! Saat di Cebu, kami merasakan KFC di sana sungguh beda dan jauh lebih sedap daripada KFC di Indonesia. Jadi, kami ingin mencicipi KFC di Ho Chi Minh apakah beda juga rasanya?
Hasil googling menyatakan KFC terdekat berada di Diamond Plaza. Dalam curahan rintik hujan, kami berjalan lima belas menit, dan sesampai di Diamond Plaza begitu kecewanya kami mendapati KFC di sana telah tutup, berganti dengan Lotteria.
Malam terakhir diwarnai hujan
Hujan makin deras. Kami pun hampir tak mampu berpikir karena lapar cuy!
Akhirnya kami memutuskan untuk berjalan menembus hujan ke book street alias Nguyen Van Binh Street, hanya lima menit dari Diamond Plaza. Book street ini satu ruas jalan kecil yang kiri kanan dan tengah jalan dipenuhi toko buku. Kami terdampar di satu kafe kecil.
Sayangnya kafe yang kami hinggapi tidak menjual makanan berat. Jadi kami harus puas dengan rerotian untuk makan malam, sambil menunggu hujan yang tak juga reda malahan makin deras. Sampai kafe tutup, hujan pun tak berhenti.
Akhirnya kami nekad berjalan ke Intercontinental Hotel dengan harapan mudah mencari taksi di sana. Ternyata, susah banget karena ribuan, eh, belasan orang lainnya bernasib sama seperti kami, terjebak hujan dan menunggu taksi. Pesan Grab maupun Uber, sama aja. Mungkin pada males ngambil order karena hujan deras ya.
Setelah lama menunggu, akhirnya kami mendapat Grab dan berpisah untuk pulang ke tempat masing-masing.
Saya dan kekasih pun harus mengubur keinginan mencicipi KFC ala Ho Chi Minh. Pulang ke Bui Vien Street, kami disuguhi pemandangan mengejutkan: banjir bo!
Yah, sebagai makhluk Jakarta sebenarnya banjir tidak lagi mengejutkan. Namun kaget aja karena dari berbagai review yang kami baca, kami tidak tahu bahwa Bui Vien Street termasuk daerah banjir.
Lumayan sih, banjir semata kaki lebih. Untung mobil Grab kami sampai di depan hotel dan dengan berbasah-basah, kami pun tiba di hotel. Pantesan, hotel di daerah ini selalu memiliki lobby yang lebih tinggi dari jalan raya. Mungkin menghindari banjir biar nggak masuk ke hotel ya.
Well, manusia berencana, Tuhan yang menentukan. Kami harus puas dengan makan malam di warung sebelah hotel, sambil menikmati pemandangan banjir yang dinikmati oleh turis-turis asing. Mereka malah tertawa-tawa menikmati hujan lebat sambil bermain-main di tengah jalan penuh air.
Seperti biasa, makanan datang dengan porsi yang gede. Lumayan banget buat mengobati rasa lapar.
Setelah itu, kami balik ke kamar hotel dan tidur. Mungkin ini cara Tuhan mencegah kami kelayapan di malam terakhir. (Cieee bawa-bawa Tuhan mulu ni yeee.)
Demikianlah, kami akui, jangan berharap banyak dari cerita perjalanan kami. Daripada mengunjungi obyek wisata populer, kami lebih memilih mencari kafe kecil yang tersembunyi. Kalau capek, tidur. Kalau males bangun pagi, ya nggak usah maksain.
Tidak ada target yang perlu dikejar. Yang penting kami enjoy.
Semoga kalian juga enjoy dengan cerita perjalanan kami, dan masih ada cerita hari terakhir di tulisan berikutnya!
satu Respon