Malam ini mendadak saya ingin mendengarkan Simon & Garfunkel, duo penyanyi yang lagu-lagunya menjadi sumber inspirasi dan penenang jiwa saya. Sampailah pada lagu “El Condor Pasa”, dan pada satu bagian dihentak genjrengan gitar, saya tertegun. Bagian itu membawa saya langsung terkenang Leo Kristi.
Iya, Leo Kristi. Tahu? Kenal?
Kalau kalian nggak tahu dan nggak kenal siapa itu musisi bernama Leo Kristi, saya mafhum kok.
Leo Kristi yang bernama asli Imam Soekarno, dijuluki Leo karena lahir pada tanggal 8 Agustus 1949, berbintang Leo. Sedangkan Kristi adalah singkatan dari “Keris Sakti”, julukannya untuk gitar hadiah dari ayahandanya. (Ada versi lain tentang Kristi ini, silakan googling.) Di akhir tahun 1960-an, Leo sempat membentuk grup musik Lemontrees bersama Gombloh (dan Franky Sihalutua?).
Lalu apa yang membuat saya begitu terkesan pada Leo Kristi?
Perkenalan saya dengan lagu-lagunya dimulai sejak saya masih kanak-kanak. Gara-garanya, kakak-kakak saya sering memutar album kaset Leo Kristi sampai saya hapal. Terlebih, kakak ketiga saya jago banget main gitar, dan menularkan kecintaannya pada Leo Kristi. Sampai-sampai ketika pelajaran menyanyi di sekolah, saya maju membawakan lagu “Hitam Putih” yang bikin guru saya melongo. Ya, bayangkan anak SD bernyanyi seperti ini:
Pagi itu di empat lima
Kami semua menyanyikan semua bebasnya negri
Pagi itu di kaki lima
Kami semua menyanyikan lagu bersatu negri
Di tanah merdeka ini putih tetap putih
Di tanah merdeka ini hitam tetap hitam
Janganlah kau cemas mari menyanyi
Hmmm hoa hoa hoa…
Pagi ini di sudut jalanan
Seorang gelandangan menyanyikan lagu bagimu negri
(Leo Kristi, Album Nyanyian Tanah Merdeka, 1977)
Kecintaan saya terus terbawa hingga kuliah di Yogyakarta. Saya mendapatkan teman diskusi yang sama-sama menggemari Leo Kristi. Kami tak putus berdendang lagu “Salam Dari Desa” disambung “Gulagalugu Suara Nelayan” dan lagu-lagu lain selama perjalanan bermotor-motor dari Yogya ke Parangtritis. Darah muda! Sungguh bebas dan dunia terasa sangat menantang untuk kami taklukkan!
Sebaliknya, banyak juga yang menganggap saya aneh karena doyan lagu Leo Kristi yang asing di telinga mereka. Teman-teman kost, misalnya. Ketika heningnya malam terwarnai oleh lantunan lagu “Nyanyian Malam” dari kamar saya, mereka bilang: seram. Atau, ketika habis subuh terdengar suara tangisan bayi yang mengawali “Nyanyian Fajar”, dan ditutup dengan suara pidato Bung Karno dan Soeharto. Super aneh, kata tetangga kamar kost saya.
Saya cuma tersenyum maklum.
Meskipun sedemikian cintanya saya pada karya Leo Kristi, saya hanya sekali menonton dia secara langsung, di TIM tahun 2005 (kalau nggak salah). Sungguh saya terpukau merasakan energi musisi yang tak lagi muda itu. Esoknya saya menuliskan pengalaman saya di Multiply (iya, sosmed yang sudah almarhum itu). Seseorang mampir meninggalkan komen: “yang teriak-teriak itu aku mbak!” Dan seseorang lain, tanpa terduga, menanyakan alamat tempat tinggal saya di Jakarta, seandainya saya mau dikirimi CD album Leo Kristi.
Tentu saja saya mau! Benar, beberapa hari kemudian sebuah paket datang. Isinya sepuluh keping CD dengan pesan: “jangan disebarluaskan ya, untuk koleksi pribadi saja”. Sampai sekarang saya tidak pernah bertemu muka dengan si mas yang budiman itu, meski pernah sekali-dua bertukar email.
Setelah itu, saya tak pernah lagi hadir di konser Leo Kristi. Entah mengapa. Mungkin karena saya pemalu, dan saya nggak ada teman buat nonton.
*****
Sekian tahun terlewat sampai malam ini.
Saat saya menulis ini, sudah hampir dua jam nonstop saya menikmati lagu-lagu Leo Kristi lewat Youtube. Terimakasih, teknologi! Ada banyak lagu Leo Kristi di Youtube, penampilan dia secara live, maupun hasil rekaman terdahulu dalam bentuk kaset yang berhasil diformat ulang dan diunggah. Mendengarkan suara jadul yang tak mulus karena namanya juga bersumber dari kaset ya, itu sungguh tak ternilai!
Dan saya tersadar, jalan hidup saya, hari-hari saya, kental terwarnai oleh lagu-lagu Leo Kristi.
Seperti yang saya ceritakan di atas, sedari SD saya sudah paham betapa kemiskinan itu memedihkan hati. Sedari kecil saya belajar betapa ironisnya hidup ini. Seperti lagu “Hitam Putih”, ketika yang lain menyanyikan lagu bebasnya negri, seorang gelandangan menyanyikan lagu bagimu negri. Apakah gelandangan itu benar terbebas? Apakah dia bagian dari negri, atau dia hanya entitas yang tersingkirkan terlupakan?
Ah, Leo Kristi.
Ketika Indonesia tercabik-cabik perasaannya karena Timor-Timur terlepas dari ibu pertiwi, saya hanya tersenyum pedih sambil mengenang lagu “Timor Timur” yang sudah saya dendangkan sedari SD. Pembuka lagu ini adalah suara tembakan disusul dengan drum (tentara siap berperang?), kemudian Leo Kristi berpuisi:
Hai tirani
Dengan senapan dan ujung bayonet
Tak dapat kau penjarakan jiwa kami
Dan di sini kami berdiri satu hati
Terus berjuang
Perjuangan yang kami perjuangkan
Tak akan sia-sia
(Leo Kristi, “Timor Timur” dari Album Nyanyian Tanah Merdeka, 1977)
Leo Kristi mengakui tak pernah ke Timor Timur tapi ia bercerita bahwa ia ngobrol di suatu sore di tangsi tentara dengan seorang sersan tentang kekejaman perang di Timor Timur sambil menggendong bayi sang sersan kecil yang manis. (Sumber: Sepanjanglempong’s Weblog)
Untuk siapakah dia bernyanyi? Untuk tentara Indonesia, ataukah untuk rakyat Timor Timur?
Yang jelas, dia bernyanyi untuk kemanusiaan.
Begitulah, saya menjalani kehidupan ditemani syair-syair lagu Leo Kristi. Kehidupan percintaan, kehidupan bermasyarakat, berbangsa, disajikan dengan puitis dan terkadang memakai kata-kata yang tiada arti. Ya, apalah artinya “gulagalugu” dari lagu “Gulagalugu Suara Nelayan”?
Kadar puitis syair ini, misalnya, bagi saya bikin hati merinding:
Sejuta genta di dalam hati
Sejuta benang engkau terpisah
Tak terjangkau oleh tangan
Jalinan panjang rambutmu sayang
(Leo Kristi, “Sendiri” dari Album Nyanyian Fajar, 1975)
Saya belum menemukan musisi muda Indonesia yang bisa berkarya seperti Leo Kristi. Okay, mungkin SLANK. Tapi siapa lagi yang bisa berkisah indah tentang kehidupan, tidak melulu cinta-cintaan? Bisa mendendangkan rasa cinta pada tanah air, juga rasa rindu selalu pada kemanusiaan dan kebenaran? Bisa berpuisi namun juga bisa nakal, garang namun lantas berakrab-akrab dengan sunyi?
Setiap jaman punya muatannya sendiri. Berlebihan bila saya mengharapkan muncul Leo-Leo Kristi yang lain. Namun, saya tetap berharap spirit yang dulu Leo Kristi tularkan melalui lagu-lagunya, tetap hidup dan siapa tahu bisa menular kepada yang lain.
Sebagai penutup, ini salah satu lagu kesukaan saya
Beberapa tautan untuk mengenal lebih jauh tentang sosok Leo Kristi:
2 Responses
jadul banget , tapi setiap lagu punya arti gak soal cinta-cinta alay kayak jaman sekarang 🙂
Iya, jadul banget hehehehe. Makasih sudah mampir ya!