Belakangan ini, timeline akun Linkedin saya diwarnai oleh hal-hal yang menggelikan. Bagi saya sih, menggelikan, mungkin bagi yang lain, bikin emosi.
Eh, sudah pada paham ‘kan Linkedin itu makhluk macam apa? Jejaring sosial yang satu ini sudah berdiri sejak 2003 dan memang diperuntukkan bagi kalangan pebisnis dan kaum profesional, beda dengan Facebook dan sejenisnya yang penggunanya bermacam ragam.
Di tahun 2015, Linkedin mempunyai 400 juta pengguna di seluruh dunia dan lebih dari 4 juta pengguna di Indonesia saja.
Sungguh angka yang menarik, bukan? Bayangkan terhubung dengan sekian banyak kaum profesional dari berbagai belahan negara. Bakal banyak peluang yang bisa kita dapatkan.
Nah, belakangan linimasa saya di Linkedin diwarnai oleh update status orang-orang yang memancing berbagai komentar: “This is Linkedin, not Facebook!”
Ini Linkedin, bukan Facebook. Begitu komentar yang berseliweran sampai saya tergerak untuk menulis artikel ini. (FYI syukurlah saya belum pernah mendapat komentar tajam macam begitu – ya update status Linkedin saja sebulan sekali belum tentu hehehe.)
Banyak contoh kasus yang bisa saya ambil untuk ilustrasi, namun saya tampilkan yang terbaru saja ya. Nama dan foto dikaburkan agar tidak memancing hal-hal yang tidak diinginkan. Contohnya satu ini nih:
Si mbak yang cukup manis ini suatu siang mengupdate statusnya dengan ucapan “Selamat makan siang semuanya.” Nggak disangka update statusnya mengundang banyak komentar. Sampai kemarin saat skrinsyut saya ambil saja sudah 98 komentar dan sampai hari ini pastinya sudah ratusan (saya nggak memantau lagi karena yang bersangkutan bukan 1st degree connection saya).
Tanggapan yang masuk bermacam-macam:
– Netral seperti “Selamat makan siang juga Bu”
– Agak nakal seperti “Selamat makan siang, Cantik”
– Memancing kesempatan seperti “Selamat makan Bu, kalau ada info lowongan boleh dong di-share”
– Tajam menusuk seperti “This is Linkedin, not Facebook”
Nah!
Komentar yang tajam menusuk ini memancing banyak komentar lainnya.
Beberapa membela si mbak. “Mbak ini ‘kan update status di lapaknya sendiri, ngapain sih pada sewot.”
Beberapa menyatakan persetujuannya bahwa update status seperti itu tidak layak dilakukan di Linkedin. “Nggak ada hubungannya dengan pekerjaan!”
Beberapa lagi mencoba menggali akar permasalahan: “Memangnya, Linkedin mengeluarkan peraturan apa saja yang boleh diposting dan apa yang tidak boleh diposting?”
Beberapa lagi seperti saya – cukup diam saja, mengamati tanpa komentar.
Kasus serupa nggak cuma terjadi di kalangan pengguna Indonesia lho. Beberapa status dari network saya di luar negeri pun, memancing debat kusir nggak guna tentang status yang layak dan atau tidak layak dibagikan di Linkedin.
Banyak yang menyayangkan, mengapa Linkedin sekarang beda tipis dengan semacam media sosial lainnya. Terlalu banyak konten yang nggak ada hubungannya dengan bisnis, berseliweran.
Bagi saya sendiri, hakikat Linkedin sudah pasti beda dengan Facebook, maka dari itu cara saya menggunakan Linkedin pasti beda dengan cara saya menggunakan Facebook.
Di Linkedin, saya memperluas jejaring saya dengan kaum pebisnis dan profesional.
Di Facebook, saya berteman dengan siapa saja yang sekiranya cocok tanpa peduli mereka kerja di mana.
Di Linkedin, saya mengupdate status jarang-jarang, yang jelas resume pasti terupdate dengan baik. Tapi kalau sekedar update foto makan siang atau update status keriaan, pantang ya!
Di Facebook, saya bisa beberapa kali dalam sehari update status, entah itu hasil pemikiran sendiri atau sekedar berbagi artikel yang saya pandang menarik.
Di Linkedin, saya selektif dalam menjaga network saya. Beberapa fake account atau akun abal-abal yang suka mengirim message yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan, pasti saya block.
Di Facebook, saya lebih santai, kalau pun ada akun nggak jelas ya cukup di unfriend saja tanpa perlu di-block. Kalau itu teman di dunia nyata, biar nggak bikin sakit ati, ya di-unfollow saja jadi meskipun tetap berteman tapi saya nggak perlu sakit mata lihat update-an status mereka.
Karena bagi saya, Linkedin adalah pencitraan saya di dunia kerja, dan Facebook adalah pencitraan saya di dunia maya seutuhnya.
Bagi saya, status yang layak diupdate di Linkedin hanya terbatas pada:
– Share lowongan kerja
– Update profile terutama kalau ganti pekerjaan atau perusahaan
– Share artikel yang menarik, namun ada korelasinya dengan dunia bisnis
Tapi ‘kan itu saya ya. Orang lain bisa saja berbeda pendapat, seperti mbak itu yang mengupdate status “Selamat makan siang ya semuanya” yang tentunya nggak ada korelasinya dengan dunia kerja.
Memang sih, nggak ada salahnya, itu ‘kan lapak dia. Akun dia.
Nggak ada peraturan yang jelas di Linkedin tentang update-an status yang layak maupun tidak layak. Hanya saja, sebagai kaum pekerja diharapkan para pengguna bisa menyadari bagaimana cara menggunakan Linkedin sebagaimana mestinya, dan tidak ‘mengotori’ Linkedin dengan status-status yang tidak ada korelasinya dengan dunia kerja.
Kembali ke pribadi masing-masing sih. Saya nggak mau melarang-larang, lha bener toh, itu akun dia.
Yang jelas saya punya catatan tersendiri tentang pengguna yang suka mengupdate status (yang bagi saya) tidak jelas itu. Cukup dicatat dalam hati, tanpa perlu memancing api dengan ikut berkomentar macam-macam.
Dan suatu pagi saya mendapati status yang lebih dahsyat lagi.
Si ibu ini mengupload fotonya sebagai cara dia bilang “I don’t care”. Ya sebelas-dua belas dengan si mbak yang berpendapat toh dia update status di lapak dia.
Saya sih nggak mau repot. I don’t care juga kok sama si Ibu ini, mau dia upload foto bugil sekalipun. Yang penting nggak ada sangkut pautnya dengan saya, gitu aja. Beda kalau dia nge-tag atau mention saya.
Kalau dikomenin, malah seneng ‘kan dia, dan komen itu ‘kan pertanda care.
Jadi simpulannya?
Simpulannya: nggak dipungkiri, Linkedin memang jauh beda dengan masa awalnya dulu, dan bagaimana cara kita menyikapi perubahan itu ya tergantung pada pribadi masing-masing.
Tinggalkan Balasan