Menjadi juara catur

Dari Menjadi Juara Hingga Menjadi Pecundang

Periode keemasan yang singkat, berganti menjadi periode kegelapan. Toh, saya cinta catur secinta-cintanya.

Singkat cerita, saya berhasil menjadi juara nasional di Kejurnas Catur 1992. Saat itu, yang menjadi juara nasional untuk pria adalah Utut Adianto. Saya, seorang pecatur yunior yang tidak diunggulkan sama sekali, ternyata bisa meraih peringkat pertama untuk Kelas Senior Wanita. (Bisa diklik tautan ini untuk cerita awal perkenalan dengan catur dan periode ketika saya mulai tinggal di Jogja.)

Nggak singkat ceritanya, gelar juara itu beneran saya raih dengan penuh drama dan air mata.

Penentuannya adalah satu partai dengan seorang senior saya, yang akhirnya saya menangkan secara brilian. Lagi-lagi, saya menemukan langkah kombinasi yang termakan oleh lawan saya. Setelah beberapa langkah, baru terlihat bahwa buah catur yang saya korbankan berakhir dengan kemenangan posisional saya yang akhirnya mendesak Raja lawan.

Sungguh brilian. Partai ini pun sempat masuk di koran Suara Pembaruan (almarhum) mengiringi berita tentang keberhasilan saya menjadi juara nasional.

Nah, ternyata ada kasak-kusuk nggak jelas di belakang saya. Berhubung saya suka jalan-jalan di sela-sela pertandingan (habisnya bosan kalau duduk mulu), dan sesekali bercakap dengan pengunjung, ada yang menggosipkan saya bermain curang.

Alias menerima kisikan dari pendukung saya entah siapalah itu, sehingga saya bisa menang dengan mengesankan.

Setelah partai penting itu, masih ada satu partai terakhir yang menentukan. Mungkin karena saya terbeban dengan keharusan untuk menang, saya malah main kocar kacir.

Saat posisi saya terdesak, begitu saya selesai melangkah, saya langsung menuju ke cottage tempat kontingen kami menginap, yang kok ndilalah bersebelahan dengan ruang pertandingan. Cukup sepuluh langkah dari ruang pertandingan, sampailah di cottage dan kamar saya.

Saya menangis di kamar, membayangkan kemenangan yang buyar dan gelar juara nasional yang terancam lepas dari dambaan.

Usai menangis, ternyata ada salah satu senior yang menyusul saya ke kamar. Ujug-ujug dia menata papan catur dan menunjukkan pada saya beberapa langkah alternatif, yang semuanya nggak ada gunanya karena saya pasti kalah.

Saya hanya tergugu mencoba menghentikan tangis.

Dan lama setelah itu, saya baru tersadar bahwa itu adalah jebakan.

Ternyata, pertemuan saya dengan sang senior tersebut disaksikan oleh beberapa orang, yang mengkonfirmasikan bahwa benar adanya saya menerima kisikan dari pihak lain selama pertandingan. Dengan kata lain, saya adalah pemain yang curang.

Padahal ‘kan, saya nggak tahu apa-apa. Tiba-tiba saja papan catur tergelar dan dia menganalisa tanpa saya minta.

Eniwei, entahlah bagaimana akhirnya saya tetap menjadi juara karena VP (Victory Point) saya yang tertinggi.

Sayangnya nggak ada dokumentasi tersisa sih. Cuma foto seuplik ini saja, yang sudah kabur, yang menjadi bukti kejayaan saya saat itu.

Kejurnas Catur Indonesia Senior Wanita 1992
Juara 1 Kejurnas Catur Senior Wanita 1992

Setelah berhasil menjadi juara nasional, saya seperti dilambungkan ke puncak. Nama saya terpampang di koran-koran.

Sebagai atlet catur pertama dari DIY yang berhasil menjadi juara nasional, saya dan teman-teman diberi hadiah untuk bertemu dengan Sultan HB X. Sayangnya foto bersama dengan junjungan warga Jogja itu, hilang entah ke mana.

Foto saya menjadi sampul majalah olahraga (sekarang sudah almarhum) dan di kios majalah langganan saya, teman yang kala itu sedang bersama saya dengan cueknya menjawil mas-mas di sebelah kami (padahal kenal juga kagak). Dengan bangga teman saya menunjukkan sampul majalah itu sambil menunjuk ke saya. “Ini teman saya, lho!”

Norak ya?

Lebih noraknya lagi, saya berani bermimpi. Saat itu seakan menjadi tradisi, bahwa menjadi juara nasional adalah otomatis menjadi anggota tim olimpiade catur. Olimpiade catur, men!

Eh dasar Tuhan Maha Bercanda, nggak berapa lama setelah kejurnas usai, ada undangan untuk mengikuti invitasi catur di Jakarta. Yang hasilnya akan dipakai untuk pembentukan tim olimpiade catur.

Tiket yang seakan sudah tergenggam, serasa lepas. Tak percaya, saya menelepon mentor saya. Bagaimana bisa diadakan seleksi tim olimpiade lagi, sedangkan biasanya otomatis hasil kejurnas yang dipakai?

Kata mentor saya, berangkat saja. Sebagai juara nasional, hak kamu untuk tetap ada dalam tim olimpiade.

Saya akui, waktu itu saya masih labil. Emosi yang meledak-ledak terkadang tidak bisa saya tahan sehingga mempengaruhi permainan saya.

Saya hanya berhasil menduduki peringkat kelima.

Sedangkan tim olimpiade terdiri dari empat pemain.

Nggak peduli saya adalah juara nasional, tetap saja hasil invitasi itu yang dipakai.

Dengan berat hati saya harus mengakui kekalahan saya. Meski berat ya.

Berat untuk merelakan kehilangan tiket emas itu. Butuh bertahun-tahun, sampai sekarang pun, saya rasa jahat sekali orang-orang yang merekayasa sehingga saya tersingkir. Dengan gosip saya pemain curang yang punya penasihat alias pembisik selama pertandingan, dengan merancang invitasi susulan, duh.

Mungkin itu sepele buat mereka. Mungkin mereka merasa punya alasan bahwa “tuh, kamu tuh labil, belom punya mental juara. Kalau kamu memang mampu, buktikan dengan menjuarai invitasi ini!”.

Tapi hal sesepele itu yang membunuh saya. Dampaknya jauh lebih besar bagi, nggak cuma ke karir catur saya, namun juga kepada perkembangan pribadi saya. Dari seorang juara, tiba-tiba saya menjadi seorang pecundang.

*****

Setelah kekalahan saya di invitasi susulan Kejurnas itu, saya seperti membabi buta bermain catur, tanpa arah.

Dan konflik dengan ibu semakin terbuka. Tahun 1992, sudah dua tahun berarti saya menjadi mahasiswa. IPK 2 koma cukuplah untuk meloloskan saya dari ancaman DO.

Ibu bilang, saya sudah menjadi juara nasional. Apalagi yang saya cari? Kembalilah kuliah yang rajin.

Saya bilang, saya sudah menjadi juara nasional. Waktunya untuk melebarkan sayap. Siapa tahu, saya bisa menjadi Grand Master, seperti cita-cita saya waktu SD.

Pertengkaran pun sering terjadi. Saya jadi jarang pulang kampung, dan lebih memilih menghabiskan waktu bersama teman-teman catur.

Waktu terus berjalan.

Saya lupa tahun berapa, kalau enggak 1993 ya 1994. Terselenggara Kejuaraan Catur Mahasiswa Se-ASEAN dengan UKM Catur UGM sebagai tuan rumah dan penyelenggara.

Kami pun bersiap-siap.

Menjelang hari-H, ada bisikan dari senior pria bahwa uang saku yang dijanjikan untuk kami, sebenarnya jauh lebih besar dananya namun dari pengurus sengaja memotong entah untuk apa.

Kalau sekarang sih, dengan gampang kami pasti sudah menuduh: pengurus UKM korupsi.

Kami menuntut pada pengurus, agar jatah kami diberikan seutuhnya. Kalau enggak, kami semua sepakat mengundurkan diri.

Kalau saya ingat lagi sekarang, bisa dibilang norak sih kelakuan kami.

Namun saat itu, darah muda kami yang bicara. Kami nggak rela ada penyelewengan dan kami yang jadi korbannya.

Sehari sebelum kejuaraan dimulai, pengurus mendekati kami tim wanita. Kepada tiga orang dari kami, mereka berjanji untuk menaikkan uang saku sesuai permintaan kami.

Namun itu hanya untuk kami tim wanita. Tim pria? Ke laut aja.

Tentu kami kompak menolak. Berat memang rasanya, namun atas nama solidaritas dengan tim pria, kami mengundurkan diri.

Teman-teman kami dari universitas lain, seakan tak percaya, mendapati betapa timpangnya tim dari UGM yang turun. Hanya tim yunior yang diturunkan, sementara yang senior (dan juga kami dari tim wanita) tak kelihatan batang hidungnya.

Eh lha kami ini memang dasar pemberontak. Kami tetap dong berniat untuk datang ke pertandingan. Sebagai penonton, tentu saja. Toh, banyak teman kami dari luar kota yang ikut bertanding.

Sore itu, saya datang sendiri. Haha hihi dengan teman-teman yang kaget mengapa saya dan teman-teman tak ikut bertanding. Serasa tak punya salah, saya masuk ruang pertandingan. Menonton.

Tahu-tahu, seorang panitia yang juga senior dan teman baik saya, datang mendekati. Dengan pelan namun tegas, ia merengkuh bahu saya, lalu setengah memaksa menyuruh saya keluar.

Komentar saya waktu itu spontan,” Wah, saya dicekal to?” (Waktu itu sedang rame-ramenya aktivis mahasiswa “dicekal” oleh pemerintahan Orde Baru.)

Di luar ruang pertandingan, baru saya meledak tangis. Saya merasa terhina. Dihina oleh almamater saya sendiri, oleh senior saya yang notabene teman baik yang saya hormati.

Di parkir, saya bertemu teman saya sesama tim wanita yang batal bertanding. Saya bilang ke dia kalau kami tidak diperbolehkan masuk ke ruang pertandingan.

Sendirian, saya berjalan meninggalkan gedung. Tiba-tiba ada yang menyusul dan menghentikan langkah saya.

Kami berdua duduk di trotoar, tak peduli lalu-lalang kendaraan.

Saya tumpahkan unek-unek saya. Jadilah, esoknya dan keesokannya lagi, muncul berita di Koran BERNAS di halaman olahraga, tentang “pencekalan” saya dan tentang kegelisahan pemain tentang penyelewengan pengurus aka panitia ajang ini.

Saya nggak pernah lagi bertemu dengan para petinggi UKM Catur saat itu. Dan memang, setelah event itu boleh dikatakan UKM Catur UGM mati suri.

Apakah kami, para anggota yang mbalelo (memberontak) ini, yang membunuh organisasi naungan kami?

*****

Kekecewaan yang menumpuk gara-gara kegagalan masuk tim olimpiade, membuat saya seperti jadi gila.

Gila catur ya, syukurlah belum gila beneran.

Kuliah mulai terlantar. Yang ada di otak saya adalah catur dan catur saja.

Kejurnas demi kejurnas saya ikuti, namun saya tak lagi berjaya seperti tahun 1992. Ada sesuatu yang aneh di otak dan batin saya. Ada sesuatu yang menahan sehingga saya tak bisa bermain lepas. Mungkin juga peristiwa tahun 1992 adalah traumatis bagi saya. Atau mungkin, ibu tidak merestui saya bermain catur. Bukankah restu ibu adalah penting?

Terkadang, posisi yang jelas-jelas menang saja bisa berakhir draw. Gemes ‘kan.

Tapi saya semakin kalap, seakan ingin membuktikan bahwa saya masih bisa bermain catur.

*****

Eniwei, ternyata ada anggota UKM Catur UGM yang tidak rela kalau organisasi percaturan satu-satunya di universitas mati suri. Tahun 1994, Wuryanto atau yang akrab dipanggil Oi, mengumpulkan kami-kami dan merintis kembali berdirinya UKM Catur UGM.

Dengan niat yang tulus dan terbebas dari sengketa masa lalu, UKM Catur UGM pun bangkit kembali.

Dan saya terseret masuk ke periode baru yang penuh kegilaan yang untungnya minim drama. Murni kegilaan akibat saya mencandu catur sampai lupa yang lainnya. Seru sih! Di cerita berikutnya ya! Simak mengapa saya pensiun dari catur.

Share:

Facebook
Twitter
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

On Key

Tulisan Terbaru