Seusai demo besar supir taksi di Jakarta yang heboh, pemerintah telah menerbitkan regulasi berupa Peraturan Menteri (PM) No. 32 tahun 2016, yang telah ditandatangani Menteri Perhubungan Ignasius Jonan pada 1 April 2016 dan akan resmi berlaku pada 1 Oktober 2016. Namun untuk Uber dan Grab, karena dua perusahaan ini telah lebih dulu beroperasi, batas waktu penerapan peraturan menteri ini adalah 31 Mei 2016.
Seperti apa regulasi baru ini dan bagaimana dampaknya bagi perusahaan yang bergerak di bidang transportasi berbasis online?
PENYELENGGARAAN ANGKUTAN UMUM
DENGAN APLIKASI BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI
(1) Untuk meningkatkan kemudahan pemesanan pelayanan jasa angkutan orang tidak dalam trayek, Perusahaan Angkutan Umum dapat menggunakan aplikasi berbasis Teknologi Informasi.
(2) Untuk meningkatkan kemudahan pembayaran pelayanan jasa angkutan orang tidak dalam trayek, Perusahaan Angkutan Umum dapat melakukan pembayaran secara tunai atau menggunakan aplikasi berbasis Teknologi Informasi.
(3) Penggunaan aplikasi berbasis Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dilakukan secara mandiri atau bekerjasama dengan perusahaan/lembaga penyedia aplikasi berbasis Teknologi Informasi yang berbadan hukum Indonesia.
(4) Tata cara Penggunaan aplikasi berbasis Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib mengikuti ketentuan di bidang informasi dan transaksi elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.
Dalam penyelenggaraan transportasi berbasis online, dalam hal ini Uber dan Grab yang telah beroperasi di Indonesia, kita mengerti bahwa ada dua pihak penyelenggara yang harus dipisahkan:
- Pihak penyedia transportasi alias Perusahaan Angkutan Umum, sebagaimana tercantum pada ayat (1) di atas.
- Pihak penyedia aplikasi berbasis Teknologi Informasi, sebagaimana tercantum pada ayat (3) di atas.
Kita paham bahwa Uber dan Grab memproklamirkan diri sebagai perusahaan penyedia aplikasi, bukan perusahaan transportasi. Namun kita juga harus mengakui bahwa praktek di lapangan, ada campur aduk antara penyedia aplikasi dan perusahaan transportasi.
Baiklah, kita lanjutkan ke ayat 41 dan akan jelas terlihat pemisahan peran antara kedua pihak yang terlibat dalam penyedia transportasi berbasis online.
Pasal 41
(1) Perusahaan/Lembaga penyedia aplikasi berbasis Teknologi Informasi yang memfasilitasi dalam pemberian pelayanan angkutan orang wajib bekerjasama dengan Perusahaan Angkutan Umum yang telah memiliki izin penyelenggaraan angkutan.
(2) Perusahaan/Lembaga penyedia aplikasi berbasis Teknologi Informasi yang memfasilitasi dalam pemberian pelayanan angkutan orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh bertindak sebagai penyelenggara angkutan umum.
(3) Tindakan sebagai penyelenggara angkutan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi kegiatan:
a.menetapkan tarif dan memungut bayaran;
b.merekrut pengemudi; dan
c.menentukan besaran penghasilan pengemudi.
(4) Perusahaan/Lembaga penyedia aplikasi berbasis Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkan kepada Direktur Jenderal meliputi:
a.profil perusahaan penyedia jasa aplikasi berbasis internet;
b.memberikan akses monitoring operasional pelayanan;
c.data seluruh perusahaan angkutan umum yang bekerjasama;
d.data seluruh kendaraan dan pengemudi;
e.layanan pelanggan berupa telepon, email, dan alamat kantor penyedia aplikasi berbasis Teknologi Informasi.
Nah, di sini terlihat jelas pemisahan kewenangan perusahaan penyedia aplikasi dan penyedia transportasi. Dengan peraturan baru ini, Kemenhub tidak memperbolehkan bahwa perusahaan penyedia aplikasi sekaligus bertindak sebagai penyelenggara angkutan umum.
Apakah Uber dan Grab selama ini juga bertindak sebagai penyelenggara transportasi seperti dijabarkan dalam Pasal 41 ayat (3)? Menurut saya nih, jawabnya: “ya”, “tidak” dan “bisa ya, bisa tidak”.
Untuk jawaban “ya”:
- Uber dan Grab memang menerapkan tarif. Tidak ada kuasa dari pihak penyedia transportasi tentang hal ini, bahkan tentang “surge price” ketika jam sibuk pun, pihak penyedia transportasi hanya bisa “pasrah” pada apa yang telah ditentukan oleh sistem.
- Uber dan Grab selama ini melakukan rekrutmen pengemudi. Seperti bisa kita baca di situs Grab tentang ajakan bergabung sebagai pengemudi Grab, dan juga di situs Uber tentang ajakan bergabung menjadi pengemudi Uber.
Untuk jawaban “tidak”:
- Uber dan Grab bisa mengubah cara mereka melakukan rekrutmen. Yang seharusnya mereka rekrut adalah penyedia transportasi (pemilik mobil / rent car), dan untuk penunjukan pengemudi, terserah pada pemilik mobil. Kalau kebetulan pemilik mobil dan pengemudinya sama, ya gak masalah, itu ‘kan maunya pemilik mobil dan bukan maunya Uber / Grab.
- Uber dan Grab tidak menentukan besaran penghasilan pengemudi. Iya, yang selama ini mereka lakukan itu bagi hasil dengan penyedia transportasi alias pemilik mobil atau rent car. Berapa bagian yang diterima oleh pengemudi, itu sudah urusannya pemilik mobil atau perusahaan rent car. Betul?
Untuk jawaban “bisa ya, bisa tidak”:
- Uber dan Grab memang memungut bayaran, terutama untuk pembayaran menggunakan kartu kredit. Tapi ini area abu-abu karena bayaran tersebut dikembalikan lagi pada pihak penyedia transportasi setelah dipotong komisi untuk Uber dan Grab. Jadi, sebenarnya boleh dibilang Uber dan Grab tidak memungut bayaran, ‘kan? Mereka hanya memotong komisi sebagai biaya jasa aplikasi yang mereka sediakan.
Nah, kalau BAB IV pasal 41 lebih menyoroti pada perusahaan penyedia aplikasi, bagaimana dengan nasib penyedia transportasi alias pemilik mobil / rent car?
Mari kita lihat pasal 21, 22 dan 23.
(1) Untuk menyelenggarakan Angkutan Orang Tidak Dalam Trayek dengan Kendaraan Bermotor Umum, Perusahaan Angkutan Umum wajib memiliki izin penyelenggaraan angkutan orang tidak dalam trayek.
(2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan biaya sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Pasal 22
(1) Perusahaan Angkutan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) harus berbentuk badan hukum Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Badan hukum Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk:
a.Badan usaha milik negara;
b.Badan usaha milik daerah;
c.Perseroan terbatas; atau
d.Koperasi.
Pasal 23
Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1), Perusahaan Angkutan Umum wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki paling sedikit 5 (lima) kendaraan dengan dibuktikan dengan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) atas nama perusahaan dan surat tanda bukti lulus uji berkala kendaraan bermotor;
b. memiliki tempat penyimpanan kendaraan (pool);
c. menyediakan fasilitas pemeliharaan kendaraan (bengkel) yang dibuktikan dengan dokumen kepemilikan atau perjanjian kerjasama dengan pihak lain;
d. mempekerjakan pengemudi yang memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) Umum sesuai golongan kendaraan.
Di sini terlihat pembatasan jelas ruang gerak Uber dan Grab. Hanya perusahaan angkutan umum (kita sebut saja: rent car) yang bisa memenuhi persyaratan sebagai penyedia transportasi non-trayek. Dengan kata lain, pemilik mobil pribadi tidak dimungkinkan untuk bergabung dengan Uber / Grab.
Menurut saya pribadi, peraturan baru ini menyiratkan keberpihakan Kementrian Perhubungan pada perusahaan transportasi konvensional. Ya, mau nggak mau orang akan berpikiran seperti saya.
Keberadaan Uber dan Grab selama ini menyadarkan kita bahwa:
- Mobil yang menganggur di garasi atau hanya dipakai berangkat dan pulang kantor, ternyata bisa dijadikan aset untuk memperoleh penghasilan tambahan. Kalau nggak ada waktu untuk menyetir sendiri, pekerjakan supir dan bagi hasil.
- Para pengguna jasa transportasi seperti saya mempunyai pilihan yang lebih murah dan lebih nyaman ketimbang taksi konvensional. Berarti, taksi konvensional harus berbenah diri dan meningkatkan kualitas. Mungkin juga, pemerintah perlu meninjau ulang tata tarif taksi yang selama ini berlaku, yang memberatkan pengemudi namun (maaf) memperkaya pemilik perusahaan?
- Pemilik mobil pribadi pun, banyak yang beralih menjadi pengguna Uber dan Grab dan itu berarti sedikit mengurangi beban jalanan Jakarta yang sudah keberatan oleh mobil pribadi.
- Kita bisa memangkas banyak beaya operasional yang selama ini harus ditanggung oleh perusahaan penyedia transportasi. Mereka tidak perlu pool dan ini berarti menghemat sekian banyak; tahu sendiri ‘kan harga tanah di Jakarta? Sekarang, mereka diwajibkan punya pool.
Jadi, bagaimana kelanjutan keberadaan Uber dan Grab di Indonesia?
Saya sih, berharap Uber dan Grab bisa tetap eksis meskipun Peraturan Menteri Perhubungan No 32 Tahun 2016 ini sepintas terlihat tidak ‘bersahabat’ bagi penyedia aplikasi yang sifatnya disruptif.
Toh, ini Indonesia, di mana peraturan bisa diliuk-liukkan sedemikian rupa. Selalu ada celah untuk bermain. Siapa tahu, sebelum peraturan ini berlaku sepenuhnya, Menteri Perhubungan yang (tidak) saya cintai dipanggil lagi oleh Pak Presiden seperti kasus pelarangan Ojek Online kala itu.
Sekarang, seperti biasa, kita hanya bisa melihat dan menunggu… atau kalau gemas menunggu, bisa unduh di tautan ini dan baca selengkapnya Peraturan Menteri Perhubungan No 32 Tahun 2016.
Note: Featured image di artikel ini saya ambil dari situs Uber.com.
8 Tanggapan
Mba boleh ijin share ga,saya pengemudi on line
Menurut saya pengamatan mba ini crrdas sekali,
Tolong mba buat tulisan lagi tentang pemilik krndaraan yg dirugikan d3ngan aturan mengikuti KIR,
1,mobil yg dipakai rata” mobil keluaran baru,metro mini yg lulus KIR aja bannya kadang copot,dipertanyakan kredibilitas KIR yg cuma merepotkan,
2,Ansuransi pemilik kendaraan tidak bisa digunakan,karena ansuransi mencover kendaraan pribadi bukan k3ndaraan umum,
Permen terlihat sekali keber pihak mentri kemarin yg dipecat,
Kepada pemilik modal besar,.
Bukan kepada masyarakat untuk menambah penghasilan,dan mengurangi angka prnganguran,..
Saya mau share kalo mba udah kasi ijin,tx alot
Mba boleh ijin share ga,saya pengemudi on line
Menurut saya pengamatan mba ini crrdas sekali,
Tolong mba buat tulisan lagi tentang pemilik krndaraan yg dirugikan d3ngan aturan mengikuti KIR,
1,mobil yg dipakai rata” mobil keluaran baru,metro mini yg lulus KIR aja bannya kadang copot,dipertanyakan kredibilitas KIR yg cuma merepotkan,
2,Ansuransi pemilik kendaraan tidak bisa digunakan,karena ansuransi mencover kendaraan pribadi bukan k3ndaraan umum,
Permen terlihat sekali keber pihak mentri kemarin yg dipecat,
Kepada pemilik modal besar,.
Bukan kepada masyarakat untuk menambah penghasilan,dan mengurangi angka prnganguran,..
Saya mau share kalo mba udah kasi ijin,tx alot
Hai Pak Dedyano, terima kasih sudah mampir ke blog ini ya. Iya nih, masih banyak hal lain yang bisa ditulis seputar transportasi online, seperti yang Pak Dedyano tulis tentang KIR dan aturan yang sepertinya berpihak pada pemodal besar. Terima kasih banyak atas idenya, akan saya pelajari lebih dalam.
Bagus sekali ulasannya mba Susan, tapi kayakya Presiden tutup mata tutup telinga menyerahkan masalah ini ke pembantunya, yang katanya pengen mengurangi pengangguran, mengatasi kemacetan, padahal taksi online ini salah satunya bisa membantu masalah ini. Coba dipublish ke media sosial mba, siapa tau bisa lebih keren,he..he
Hai Hamam, terima kasih hehehe sepertinya saya harus menulis lagi karena banyak perkembangan terbaru tentang transportasi online belakangan ini. Terima kasih sudah mampir dan membaca ya!
Well write mba…
Teman saya banyak yang menjadi pengaguran di tahun 2016-2017 dan rata rata mereka kesulitan mendapatkan perkerjaan lagu mengingat usia yang sudah hampir 40 walau dengan background pengalaman yang cukup baik. Dengan keberadaan taksi online cukup membantu mereka dari keterpurukan ekonomi membuat mereka bisa makan kembali. Sepertinya hal ini perlu diangkat juga mba biar pemerintah yang katanya mencanangkan ayo kerja tetapi malah sebaliknya…..
Dan dengan adanya angkutan online para Customer pun cukup terbantu dan terlayanu dengan baik.
Dengan kendaraan yang terawat, bersih, wangi, harga lebih kompetitif pelayanan yang ramah tidak seperti kita naik kendaraan umum lainnya. Terkadang uring uringan, ugal ugalan kita sebut sebagai konvensional tersebut.
Banyak juga dari para driver online yg terpelajar, mahasiswa, pendidikan tinggi dan mereka pun dapat pelatihan juga mengenai keselamatan.
Saya secara pribadi mendukung para penggiat armada online mereka berjuang mencari sesuap nasi untuk keluarganya dengan mengikuti perkembangan jaman. Seharusnyanjika perusahaan transportasi konvensional jika ingin bersaing ya tingkatkan pelayanan, hospitality, armada yang nyaman serta mengemudi yang aman jangan melakukan demo anarkis seperti yang sudah sudah. Catatan tambahan banyak juga driver dari taksi konvensional, angkor yang beralih ke taxi online, kenapa tidak mereka bisa dapat uang lebih baik, jam kerja mereka atur sendiri, dan kendaraan yang kedepannya menjadi milik sendiri.
Ingat kasus ojek pangkalan sekarang juga banyak yang beralih ke ojek online seperti di daerah rumah saya.
Yang bermasalah tarif, tapi yg dibahas malah yg lain.
Byk org aneh.