Jaman SD dulu, saya senang menggambar tokoh-tokoh pewayangan. Maklum, salah satu bacaan masa kecil saya adalah Panjebar Semangat. Majalah mingguan berbahasa Jawa yang membahas banyak budaya Jawa, termasuk wayang.
Semakin besar, semakin saya bersentuhan dengan budaya aseng, jadi meskipun saya ini orang Jawa, terus terang saya ndak nJawani lagi. Mungkin, ke-Jawa-an saya hanya tertinggal saripatinya saja, yang mengingatkan saya di banyak momen bahwa sejatinya saya adalah orang Jawa.
Seperti beberapa hari yang lalu.
Seperti biasa, di pergantian tahun banyak beredar ucapan-ucapan Selamat Tahun Baru, Happy New Year dan sebangsanya. Satu postingan di salah satu grup Facebook yang saya ikuti, mengangkat foto gunungan sebagai latar belakang ucapan.
Saya jadi tergugah.
Sebenarnya, apa sih makna gunungan dalam pewayangan, khususnya wayang kulit ini?
Apa cuma buat penanda ganti babak?
Jadi, saya mulai mengulik sana-sini seputar gunungan wayang, dan nikmatilah hasil pengembaraan saya dalam tulisan ini.
*****
Sebelum menyentuh bahasan soal gunungan, sedikit cerita tentang wayang. Wayang sudah menjadi bagian dari kehidupan nusantara sebelum Islam masuk ke Indonesia. Pertama kali, wayang dibuat pada tahun 939 M oleh Jayabaya yang ingin menggambarkan sosok dari para leluhurnya. Gambaran yang dibuatnya kemudian dimainkan oleh seorang dalang dalam sebuah pertunjukan dengan mengangkat sebuah cerita. (Sumber: Kumparan)
Setelah masuknya Islam, dengan cerdik para penyiar agama Islam menggunakan wayang sebagai media dakwah. Banyak perubahan yang dilakukan untuk menyesuaikan bentuk dan cerita dari wayang agar sesuai dengan ajaran agama Islam.
Jadi, jangan heran kalau makna gunungan sedikit banyak membawa nilai-nilai islami.
Misalnya, ada yang menganggap gunungan berbentuk segi lima, dan itu melambangkan lima waktu yang harus dilaksanakan oleh penganut agama (Islam).
Karena saya bukan muslim, saya memaknai gunungan secara universal saja. Bagi saya, nilai-nilai kebajikan sejati tidak hanya milik satu agama saja.
Gunungan merupakan lambang alam. Gunungan yang sedang diputar-putar oleh sang dalang menggambarkan proses bercampurnya benda-benda atau berbagai anasir untuk menjadi satu dan terwujudlah alam beserta isinya. Benda-benda tersebut dinamakan Panca Maha Bhuta atau lima zat yakni: Banu (sinar-udara-setan), Bani (Brahma-api), Banyu (air), Bayu (angin), dan Bantala (bumi-tanah).
Mengapa disebut gunungan?
Bentuknya seperti gunung. Iya ‘kan? Mengerucut seperti gunung.
Menurut orang Jawa, gunungan mempunyai makna gegunungan yang menggambarkan filosofi Jawa sangkan paraning dumadi alias “asal mulanya hidup”.
Gunungan juga acap disebut sebagai kayon. Kayon ini dalam bahasa Kawi memiliki arti “kayun” atau “kehendak. Dalam bahasa Arab, artinya “makna hidup”. (Catatan: saya belum menemukan kata asli dalam bahasa Arab yang berarti hidup/kehidupan/makna hidup. Ada yang bisa bantu mencerahkan?)
Bentuk gunungan yang mengerucut (lancip) melambangkan kehidupan manusia. Semakin tinggi ilmu dan bertambah usia kita, kita harus semakin mengerucut untuk menuju yang di atas yaitu Tuhan.
Ada tiga macam penggunaan gunungan dalam sebuah pertunjukan wayang kulit, yaitu:
- Sebagai tanda pembukaan dan penutupan cerita. Seperti halnya layar yang dibuka dan ditutup pada pentas sandiwara. Sebelum wayang dimainkan, gunungan ditancapkan di tengah-tengah layar, condong sedikit ke kanan yang berarti bahwa lakon wayang belum dimulai, bagaikan dunia yang belum beriwayat. Setelah dimainkan, Gunungan dicabut, dijajarkan di sebelah kanan. Setelah lakon selesai, Gunungan ditancapkan lagi di tengah-tengah layar, melambangkan bahwa cerita sudah tamat.
- Sebagai tanda pergantian jejeran (adegan/babak). Gunungan ditancapkan di tengah-tengah condong ke kiri.
- Untuk menggambarkan pohon, angin, samudera, gunung, guruh, halilintar dan membantu menciptakan efek tertentu (saat peran menghilang/berubah bentuk). Untuk melambangkan api atau angin, ini sisi gunungan dibalik dan di sebaliknya hanya terdapat cat merah-merah. Warna inilah yang melambangkan api.
Kalau kita mencermati gunungan, banyak gambaran di sana yang sungguh rumit namun indah. Ornamen yang tertera di gunungan bukan hanya untuk keindahan, namun untuk mengajarkan nilai-nilai tertentu bagi kita.
Bersumber dari tulisan di blog Dewi Sundari, ornamen yang ada di gunungan pada umumnya beserta artinya adalah:
- Gapura dan dua penjaga (Cingkoro Bolo dan Bolo Upoto). Ini adalah perlambang hati manusia yang memiliki dua sisi yaitu baik dan buruk. Tameng dan godho (gada) yang mereka pegang dapat dimaknai sebagai penjaga alam gelap dan terang.
- Hutan (pohon) dan binatang adalah lambang dari berbagai sifat dan tabiat manusia.
- Pohon yang tumbuh menjalar ke seluruh badan dan ke puncak melambangkan segala budi-daya dan perilaku manusia yang harus tumbuh dan bergerak maju sehingga bisa bermanfaat serta mewarnai dunia dan alam semesta. Dalam pepatah Jawa: Urip iku obah, Obaho sing ngarah-arah. Hidup itu bergerak. Bergeraklah secara terarah.
Pohon juga melambangkan bahwa Tuhan memberi pengayoman dan perlindungan bagi manusia yang hidup di dunia ini. - Burung melambangkan manusia harus membuat dunia dan alam semesta menjadi indah dalam hal spiritual maupun material.
- Banteng melambangkan manusia harus kuat, lincah, ulet dan tangguh.
- Kera melambangkan manusia harus mampu memilih dan memilah antara baik-buruk, manis-pahit seperti halnya kera pintar memilih buah yang baik, matang dan manis. Diharapkan kita manusia selalu bertindak yang baik dan tepat (bener tur pener). Ada pula yang memaknai kera sebagai perlambang ketangkasan dalam kehidupan yang belum tentu menjamin terkabulnya suatu keinginan. Kera merupakan binatang yang dapat menampilkan keuletan dalam menempuh kehidupan.
- Harimau melambangkan manusia harus menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri dan harus mampu bertindak bijaksana dan mengendalikan nafsu serta hati nurani untuk menjadi yang lebih baik dan maju. Bila manusia tidak mampu menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri dan tidak mampu mengendalikan diri sendiri, akibatnya akan fatal dan semua akan hancur musnah seperti halnya gunungan wayang bila dibalik akan menjadi berwarna merah menyala (terbakar). Harimau juga merupakan lambang keindahan yang disertai gengsi atau kewibawaan dalam ketangguhan menghadapi lawannya.
- Kepala raksasa melambangkan manusia dalam kehidupan sehari-hari mempunyai sifat rakus, jahat seperti setan.
- Ilu-ilu banaspati (jin atau setan) pada bagian belakang gunungan melambangkan bahwa hidup di dunia ini banyak godaan, cobaan, tantangan dan mara bahaya yang setiap saat dapat mengancam keselamatan manusia.
- Samudra melambangkan pikiran manusia.
- Rumah joglo (gapuran) melambangkan suatu rumah atau negara yang memiliki kehidupan yang aman, tenteram, dan bahagia.
Di referensi lain yang ditulis bersumber dari artikel Buana Minggu, 19 November 1989 dan sebuah tulisan lain (sayangnya tulisan yang saya temukan kebanyakan tidak mencantumkan sumbernya), disebutkan beberapa ornamen yang belum tersebut di atas, yang juga biasa ditemukan dalam gunungan, seperti:
- Ular atau naga diartikan sebagai lambang sejatining urip, menggambarkan betapa sulitnya jalan berliku–liku yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan.
- Rusa yang berekor (ada pula yang menyebutnya sebagai komodo?) adalah binatang aneh yang diartikan sebagai lambang kemauan hidup yang bermacam–macam tanpa mempertimbangkan segi untung ruginya, hanya memburu kesenangan.
- Ayam di atas pohon melambangkan suatu tantangan hidup yang akan datang. Waktu fajar menyingsing selalu ditandai ayam berkokok. Suatu pertanda hari esok penuh dengan tantangan kehidupan.
- Bejana berbentuk bunga padma yang tergambar di pucuk pohon berisikan air suci. Air suci adalah air kehidupan yang diberikan oleh Sang Pencipta. Manusia yang memperoleh air tersebut dapat menyucikan hidupnya dan akan sempurnalah hidupnya.
Dalam satu bentuk saja, yaitu gunungan, manusia Jawa masa lalu mencoba memampatkan filosofi hidup dan menuntun kita kepada kepenuhan.
Sungguh sayang jika pemikiran adiluhung seperti yang termuat di gunungan makin lama makin tergerus oleh budaya dari luar.
Ah, jadi pengin nonton wayang kulit lagi secara live. Satu-satunya saat saya menonton wayang kulit live (bukan lewat televisi) adalah saat mengantarkan teman saya dari Australia yang kala itu sedang menuntut ilmu di Jogja. Kami berdesak-desakan dengan para pengunjung yang memadati lapangan. Meriah! Dan sebenarnya kami sedikit keliru, kami menonton dari belakang pak dalang. Sedangkan nonton wayang itu ‘kan nonton bayangan, bukan nonton pak dalang dan para punggawa gamelan.
Tapi yang namanya manusia, lebih tergoda nonton yang berwarna-warni daripada nonton bayangan yang hitam putih.
Kalian sendiri, kapan terakhir nonton wayang kulit secara langsung?