Queen's Gambit review

The Queen’s Gambit Review Menurut Mantan Pecatur

Review The Queen's Gambit, dari sudut pandang seorang mantan pecatur wanita.
Anya Taylor-Joy sebagai Beth Harmon
Anya Taylor-Joy sebagai Beth Harmon (Image Copyright: Netflix)

Telat sih ya, udah ganti tahun baru menulis review The Queen’s Gambit. Tapi tetap, lebih baik telat menulis daripada tidak sama sekali, jadi saya tekadkan untuk menulis review tentang seri yang mengguncang masyarakat dan menaikkan popularitas catur di seluruh dunia.

Sinopsis

Cerita seri yang ditayangkan di Netflix mulai akhir Oktober 2020 lalu, berpusat pada kisah Beth Harmon, seorang yatim piatu yang berkepribadian unik. Bocah sembilan tahun ini seperti lebih senang hidup dalam dunianya sendiri, ketimbang blangsakan ke sana ke mari. Satu kejadian di asrama mempertemukannya dengan Mr. Shaibel, penjaga gedung. Ia mulai mengenal dan belajar catur, dan sejak saat itu, catur tak lagi terpisahkan dari kehidupan Beth Harmon. Pada umur 16 tahun, Beth bertanding di Kejuaraan U.S. Open dan karir dia sebagai pecatur profesional dimulai. Seri yang baru tayang satu season dengan 7 episode ini menceritakan perjalanan Beth sebagai pecatur wanita dengan segala kejutan yang tidak kita jumpai di kehidupan orang biasa. Film dibuat berdasar buku karya Walter Tevis dengan latar belakang tahun 1950-1960-an, saat perang dingin Rusia-Amerika masih berjalan dan memberi sedikit pengaruh pula pada dunia percaturan.

Sempurna!

Sebelum menonton The Queen’s Gambit, saya perlu menyiapkan mental berhari-hari. Semua orang bilang ini film bagus, tapi itu belum cukup buat saya. Harap maklum, sebagai mantan pecatur, saya tahu pasti bahwa film ini akan membawa sejuta kenangan saat saya aktif menjadi pecatur.

Dan benar saja.

Perjumpaan Beth dengan bidak-bidak itu, pelajaran yang ia terima satu demi satu dari janitor kesayangannya, membawa saya ke masa lalu saat saya masih duduk di Sekolah Dasar. Pun, ketika Beth membayangkan bidak-bidak catur menggantung di langit-langit ruangan, itu tak asing buat saya – dan saya yakin, buat para pecatur lainnya.

Kegilaan-kegilaan yang timbul akibat catur, ketersendirian namun juga kebersamaan bersama teman-teman pecatur lain, digambarkan sempurna dalam The Queen’s Gambit. Tak heran, Gary Kasparov, mantan juara dunia catur, didapuk menjadi konsultan series ini. Penggambaran sedetil-detilnya menambah pengetahuan bagi saya yang menikmati catur di zaman yang berbeda dari Beth. Jam catur, misalnya. Yang digunakan saat pertandingan dalam The Queen’s Gambit, berbeda dengan jam catur yang saya kenal di tahun 1980-an, apalagi generasi setelah itu yang menggunakan jam catur digital.

Seksisme itu eksis

Sama seperti Beth yang di awal kemunculannya diremehkan oleh para pecatur lain karena dia adalah seorang perempuan, saya juga pernah mengalami hal yang serupa. Pernah saya kisahkan di tulisan lain di blog ini (mulai dari sini untuk baca ceritanya). Waktu saya mengikuti turnamen terbuka (artinya: pecatur pria dan wanita bertanding tanpa dipisah), lawan saya (seorang pria, tentu) sebelum bertanding menyodorkan kertas notasi yang sudah ia tulis 1-0. Alias ia sebagai pemain putih, menang. Menghina banget nggak sih? Tak heran, satu ruangan akhirnya terbahak ketika saya membuktikan bahwa saya lebih baik darinya, alias 0-1 untuk saya.

Saya tak tahu bagaimana kondisi sekarang ini, tapi saya rasa, seksisme takkan pernah bisa dihapuskan. Akan tetap ada pria-pria yang menganggap bidang tertentu hanya bisa dikuasai oleh pria, dan perempuan cukup di dapur saja (misalnya).

Candu itu nyata

Gila catur bukan lagi hal yang aneh, apalagi buat kami para mahasiswa yang tergabung sebagai anggota Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Catur. Banyak kisah bertebaran. Ada kakak senior yang masuk rumah sakit jiwa karena (konon) kecanduan catur, banyak yang tidak menyelesaikan kuliah karena lebih senang ngotak-atik catur daripada kuliah (seperti saya).

Pertandingan selesai pun, belum tentu selesai di pikiran. Nggak heran jika pertandingan (apalagi kalau kalah) terbawa mimpi, dan di mimpi kami menemukan langkah brilian dan kami terbangun sambil berteriak, “Eureka!” lalu terbengong-bengong karena oh, ternyata pertandingan sudah usai dan itu hanya mimpi. Tapi langkah brilian itu benar adanya kami temukan, jadi dalam mimpi kami pun tetap terus berpikir.

Pentingnya support dari lingkungan

Kita tidak cukup kuat untuk menjadi pemenang sendirian. Saya dulu sempat memendam iri ketika melihat keluarga teman saya begitu mendukung dia untuk maju sebagai pecatur. Sementara pendukung terbesar saya, Bapak, sudah mangkat sebelum saya jadi juara nasional. Ibu, tidak begitu antusias dengan karir catur saya dan menekan saya untuk meninggalkan catur dan kuliah yang benar. Akhirnya, saya tumbuh sebagai pribadi yang terkoyak-koyak, dan butuh waktu untuk kembali menyatukan pribadi saya meski itu berarti saya meninggalkan dunia catur untuk selamanya.

Seperti Beth, saya juga merasakan pentingnya dukungan dari lingkungan. Beth beruntung, ibu angkatnya mendukung penuh karirnya sebagai pecatur – meski atas alasan materi.

Tapi dukungan tak cuma bisa didapatkan dari keluarga, melainkan juga dari teman-teman. Setiap sebelum bertanding, seperti yang dilakukan Beth dan kawan-kawannya, biasanya kami berkumpul untuk menyusun dan menyiapkan pembukaan apa yang sebaiknya kami pakai. Setelah bertanding, kami kembali berkumpul untuk menganalisa partai yang kami selesaikan, dan mencari jawaban mengapa kekalahan menimpa.

Saya = Beth Harmon versi proletar

Kalau boleh saya menyetarakan diri dengan Beth Harmon (meskipun dia pecatur kelas internasional dan saya baru sebatas nasional, itupun tak maksimal), perjalanan kami dalam dunia catur memiliki kesamaan. Saya pikir, semua pecatur pasti menemukan kesamaan kisah mereka dalam The Queen’s Gambit ini.

Hanya bedanya, versi saya versi proletar. Beth Harmon menginap di hotel, sedangkan saya dan teman-teman cukup menginap di losmen. Bahkan pernah, di Bojonegoro, karena kami tiba terlalu malam, saya menginap di GOR bersama pecatur-pecatur pria lainnya. Baru esoknya cari losmen. Atau sering, di Malioboro, kami melewatkan waktu sampai pagi di jalanan, bersama teman yang buka kuis catur 3 langkah mati (masih adakah sekarang?).

Beth Harmon menikmati dunia catur yang gemerlap dengan para pecatur pria yang flamboyan, sedangkan saya menyaksikan mereka para pecinta catur yang tak segan bermain di lorong gelap, di gedung-gedung tua yang terabaikan. Teman saya tukang becak, tukang bersih-bersih vihara, pecatur jalanan yang sekarang sih saya pikir, entah segitunya cinta catur, atau memang tak ada pilihan saja.

Setiap adegan Beth Harmon dan ibunya menikmati makan malam atau nongkrong di kafe mewah, saya teringat betapa saya dan teman-teman makan sate satu porsi dibagi bertiga. Atau memilih beli kompor minyak untuk masak indomie ketika kami seminggu di Bali tahun 1994, karena beli makan di warung saat itu mahal sekali.

Tapi ya kami nggak menderita-menderita banget sih. Pertama, semua sudah diniatin demi ikut pertandingan catur. Kedua, kalau sudah dapat hadiah, royal deh, mau makan apa hayuk, karaoke hayuk. Jadi ibaratnya dunia saya itu dunia hitam dan putih. Dua kubu ekstrim jadi satu.

Oya, lagian cerita soal catur proletar ini, saya rasa nggak semua pecatur Indonesia mengalaminya. Banyak pecatur yang baik-baik saja kok, kuliah bener sampai berkarir jadi PNS, misalnya, lempeng gitu dah hidupnya tapi caturnya tetap berprestasi.

Rekomen banget

Film seri ini recommended banget buat ditonton, meskipun kalian nggak mudheng catur itu apa. Tapi kalian bisa menyaksikan dan merasakan perjuangan seseorang dalam menjalani passion-nya. Plus bumbu-bumbu romantis dan politis yang membuat The Queen’s Gambit semakin tidak membosankan untuk ditonton.

Dan kalau kalian ingin menonton film lain tentang pecatur, bisa coba tilik film Pawn Sacrifice yang berkisah tentang pecatur legendaris, Bobby Fischer.

Share:

Facebook
Twitter
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

On Key

Tulisan Terbaru