Ayah saya seorang Muslim sampai meninggalnya. Ibu saya seorang Kristen Protestan, sampai sekarang.
Dibesarkan oleh orangtua yang berbeda agama, membuat saya demokratis sejak kecil. Keluarga saya memang demokrat, nggak seperti keluarga Jawa masa lalu yang penuh birokrasi. Kami semua dibesarkan dengan tradisi Kristen, tapi kakak pertama saya menjadi Muslim saat dia di sekolah menengah atas. Kakak yang kedua, menjadi Katholik sampai meninggalnya. Kakak ketiga, Kristen Protestan tapi menikah dengan seorang Katholik, dan sepertinya sekarang sudah mulai ke gereja Katholik. Kakak keempat, yang paling nggak aneh-aneh, Kristen Protestan yang taat.
Dan saya? KTP saya Kristen, tapi saya belum baptis.
Di gereja, kami wajib mengikuti katekisasi yang waktu itu lamanya berbulan-bulan. Dan itu membosankan. Setiap pertemuan yang dipimpin bapak pendeta, hanya diisi oleh pembacaan buku katekisasi dan diskusi yang garing. Seingat saya malah nggak ada diskusi. Mungkin karena peserta katekisasi yang lain juga sama bosannya seperti saya, atau mungkin tipikal anak muda jaman dulu nggak sekritis sekarang.
Saya bertahan sepuluh bulan, hanya kurang dua bulan lagi, sebelum saya memutuskan berhenti datang. Karena bosan itu. Saya rasa saya nggak butuh menghapal doktrin-doktrin itu agar dibilang sah sebagai seorang Kristen.
Saya Kristen di hati.
Atau tepatnya, apalah namanya, saya nggak peduli.
Saya beriman.
Dengan cara saya sendiri.
Gereja saya adalah tempat saya berinteraksi dengan manusia sehari-hari.
Saya ikut merayakan Natal, setiap hari.
Saya ikut menyebut nama Tuhan ketika adzan berkumandang atau puja membahana dari radio setiap jam dua belas dan jam enam sore.
Saya terus belajar, terkadang berhenti cukup lama dalam perjalanan, sampai satu teguran datang tanpa disangka untuk saya bangun dan melanjutkan pembelajaran dan perjalanan saya.
Saya nggak tahu apakah saya masuk surga atau nggak.
Saya sedikit ngeri membayangkan saya masuk neraka, tapi hidup di dunia ini toh juga sudah tak tertahankan pada saat-saat tertentu, dan itu saya bayangkan sebagai neraka saya di dunia.
Saya beriman, dan saya nggak peduli bila orang lain mempertanyakan keimanan saya. Saya sudah melewati tahap-tahap saat saya merasa perlu agar dunia mengerti saya. Sekarang, saya mencoba mengerti dunia, tanpa memaksa mereka untuk balik mengerti saya.
Saya doakan semua makhluk di atas muka bumi berbahagia.