Saya beruntung tinggal di Bali, provinsi yang diprioritaskan dalam program vaksinasi COVID-19. Harapan pemerintah, dengan tercapainya jumlah penduduk Bali yang divaksin, akan tercipta herd immunity. Yang selanjutnya diharapkan akan menumbuhkan kepercayaan para stakeholder industri pariwisata. Bali aman sebagai destinasi wisata. Border dibuka, turis kembali datang, bisnis lancar. Anyway, di tulisan kali ini saya hanya ingin berbagi pengalaman vaksin COVID-19 di Bali, sebagai rakyat jelata.
Mengapa saya tekankan “sebagai rakyat jelata”? Saya bukan lagi insan pariwisata, jadi nggak dapat privilege untuk ikut serta dalam program yang diatur oleh PHRI atau Disparda – meskipun kalau saya mau sih, bisa aja. Tapi sebenarnya saat itu saya malas-malasan untuk divaksin. Vaksin boleh, nggak juga gapapa. Gitu pikiran saya.
Ternyata, teman-teman saya semangat banget untuk menjadikan provinsi Bali ini “hijau”. Mereka gencar menanyakan apakah saya sudah vaksin.
Dan suatu hari, mereka bilang kalau akan ada program vaksin di GOR PRAJA RAKSAKA Denpasar. Terkesan akan kegigihan mereka, saya iyakan saja nama saya untuk didaftarkan melalui organisasi mereka.
Table of Contents
TogglePengalaman Vaksin Pertama
Tanggal 22 April 2021, dua jam lebih awal dari yang dijadwalkan, saya sudah tiba di GOR di kompleks KODAM itu. Seperti dugaan, banjir manusia sudah terlihat. Sedemikian tinggi niat penduduk Bali untuk divaksin ini. Salut, ya!
Tidak ada kejelasan tempat pendaftaran dan sebagainya. Saya menuju ke pintu GOR. Beberapa bapak tentara berjaga di sana. Dua bapak-bapak pencari vaksin seperti saya tampak bertanya-tanya ke pak penjaga, setelah itu pergi. Tiba giliran saya.
Bapak penjaga cuma bilang panitia belum datang. Dan dia juga tampak bingung, dia tahunya hari ini vaksinasi untuk KBT (Keluarga Besar Tentara) tapi ternyata banyak masyarakat umum dan pariwisata yang juga datang.
Ya sudah, saya cuma bilang, “Tapi nggak apa-apa ‘kan kalau saya menunggu di sini?” Maksud saya, di pintu aula GOR yang sudah terbuka lebar itu meskipun belum ada yang diperbolehkan masuk. Beliau mempersilakan.
Beberapa menit kemudian, saya tengok ke belakang, lho ternyata sudah terbentuk antrian panjang di belakang saya. Sepertinya orang-orang tertular oleh kesigapan saya mengantri. Lha iya toh, daripada duduk-duduk aja, mending pastikan dapat antrian nomor satu (ini tidak berlaku untuk pengalaman vaksin kedua saya).
Dan lupakanlah protokol kesehatan. Kerumunan massa sama sekali nggak terkendali!
Singkat cerita, satu setengah jam berdiri mengantri, barulah formulir pendaftaran dibagikan. Dan chaos seketika. Saya yang semula benar-benar terdepan, tergeser ibu-ibu (dasar saya pengalah juga sih) sehingga ada di baris kedua di kelompok yang terbentuk kira-kira delapan lajur.
Saya mencoba menenangkan diri, masa’ iya sudah sedepan ini nggak kebagian formulir juga. Akhirnya dapat formulir juga, dengan nomor antrian 134. Dan nggak berapa lama kemudian, terdengar pengumuman yang menyatakan formulir sudah habis. Yang nggak kebagian formulir, dipersilakan untuk pulang.
Dengar-dengar, vaksin hari itu dijatah 600 dosis untuk umum dan 400 untuk KBT. Dan organisasi di mana nama saya terdaftar itu, yang semestinya dapat jatah 100 formulir, ternyata hanya dapat 17. Untung saja saya inisiatif antri sedari pagi.
Kasihan banget yak yang sudah datang pagi-pagi tapi kalah cepat ngantri.
Setelah pembagian formulir kelar, situasi mulai terkendali. Petugas memanggil nomor-nomor untuk masuk ke aula GOR. Ketika tiba giliran saya, setelah menunjukkan formulir plus KTP asli (catatan: KTP saya bukan KTP Bali ya), saya pun masuk ruangan. Ada beberapa lajur antrian, dengan kursi-kursi yang ditata berjarak. Saya pilih lajur paling kiri, dan sial banget, itu lajur entah kenapa jalan lambat nggak seperti lajur-lajur lainnya.
Ternyata meja pertama yang harus kami datangi, dibagi untuk lajur kami dan lajur sebelah. Dan orang-orang di lajur kami, saking lugunya sering diserobot antriannya sama lajur sebelah.
Pokoknya gitu deh, sampai kemudian ada petugas yang datang ke lajur kami karena curiga kenapa lajur kami pergerakannya lambat. Setelah itu baru deh teratur nggak ada serobotan lagi.
Pas tiba di meja pertama tempat ukur tensi, bapak dari lajur sebelah yang maju sebelum saya, ternyata ditolak karena tensinya terlalu tinggi. Saya berseloroh, “Bapak emosi kali, karena antrian tadi. Coba tunggu bentar sampai turun emosinya lalu coba lagi hehehe.”
Bener aja, dia menenangkan diri lalu ukur tensi lagi dan normal tensinya. Ketawa senang deh dia.
Pelajaran pertama: antri jangan pakai emosi.
Setelah ukur tensi, pergi ke meja kedua di mana sudah disiapkan suntikan vaksin. Ya gitu aja rasanya. Nggak berasa. Dikit kali dosisnya. “Kalau banyak, bukan suntik vaksin itu, infus namanya,” kata seorang teman.
Selesai suntik, saya diminta menyerahkan kartu vaksin ke petugas lalu menunggu 30 menit, katanya sih untuk mengecek apakah ada efek samping yang langsung berasa saat itu juga.
Tiga puluh menit berlalu tapi nama saya belum dipanggil juga. Mendadak SMS masuk. Isinya pemberitahuan jadual vaksin kedua. Yayyy! Tak berapa lama, nama saya dipanggil petugas. Kartu tanda vaksin pertama diserahkan, lalu saya dipersilahkan pulang.
Terima kasih, bapak ibu petugas!
Pengalaman Vaksin Kedua (Kena Zonk!)
Sesuai SMS yang diterima, sebulan setelah vaksin pertama tepatnya di tanggal 20 Mei 2021, dengan semangat saya bersiap untuk vaksinasi kedua. Tapi semangat langsung kendor begitu dengar berita beberapa teman dijadwalkan ulang untuk jadwal vaksin keduanya.
Apalagi ketika teman yang vaksin sehari sebelum saya di tempat yang sama, mengabarkan kalau vaksin habis sehingga dia yang sudah datang sesuai jadual, harus pulang dengan kecewa.
Teman menyarankan untuk cek di DPRD Renon. Katanya di sana ada program vaksin juga.
Pada tanggal yang dijadualkan, pagi-pagi saya berangkat ke DPRD Renon. Begitu sampai di gerbang, pak sekuriti langsung bilang, “Mau vaksin? Nggak ada jadual hari ini.”
Semangat banget mencegahnya, Pak. Sudah berapa orang yang sebelum saya datang menanyakan soal vaksin?
Ya udah, langsung meluncur ke RS Udayana, tempat vaksin kedua saya yang seharusnya.
Baru jam enam lewat dikit, tapi sudah ada dua ibu-ibu yang mengantri. Lumayan, ada tempat ngobrol. Mereka juga mengungkapkan kekhawatiran soal habisnya vaksin. Seorang ibu, seperti saya, juga menyempatkan datang ke DPRD Renon, dan sama seperti saya, juga kecewa. Dan mereka juga sama cemasnya seperti saya, apakah masih tersedia vaksin Sinovac.
Yawdah mau apa lagi, hanya bisa menunggu.
Jam delapan lewat, panitia mulai datang. Kursi-kursi sudah dipenuhi para peminat vaksin. Dan kabar mulai beredar simpang siur.
Jadi yang ngantri itu campur-campur, ada yang terima vaksin pertama Sinovac dan ada yang vaksin AstraZeneca.
Seorang bapak yang gelisah, maju ke meja panitia. Bercakap dengan petugas, lalu kembali dengan kabar buruk. Vaksin Sinovac beneran habis. Tapi lebih baik tunggu berita resmi, katanya. (Si bapak itu nggak sabar nunggu, jadi beberapa menit kemudian dia ngeloyor pergi bersama gerombolannya.)
Jam setengah sembilan pagi, tibalah pengumuman yang dinanti. Dan benar, pengantri yang mengharapkan vaksin Sinovac, dipersilakan pulang.
Terdengar dengungan kecewa.
Ibu panitia bilang, tidak usah khawatir. Tiga bulan setelah suntikan pertama masih sah untuk suntikan kedua. Mereka masih berusaha mendapatkan jatah vaksin dari berbagai lembaga termasuk kementerian, tapi belum berhasil. Jadi diharapkan, para pengantri pulang saja dan cek seminggu lagi.
Mau bilang apa lagi? Ya udah pulang aja, meski ibu-ibu teman ngobrol saya masih mau berusaha ke tempat lain. Ada yang mau ke Puskesmas, tapi seorang ibu lainnya bilang, Puskesmas dekat rumah dia hanya mau memberikan vaksin pertama.
Saya memilih untuk menunggu saja.
Pengalaman Vaksin Kedua (Beneran)
Tanggal 27 Mei 2021, dengan semangat penuh harap saya bangun pagi-pagi dan menjemput teman yang senasib dengan saya, untuk berangkat lagi ke RS Udayana. Saya baca di koran, ratusan ribu dosis vaksin Sinovac sudah diterbangkan ke Bali. Semoga saja kali ini nggak zonk!
Jam enam pagi lewat dikit, kami sudah tiba di RS Udayana. Sudah hapal situasi, jadi kami langsung duduk di kursi yang sudah diatur.
Satu jam kemudian, datang mas-mas beserta dua temannya.
Eh lha kok kami disuruh pindah sama bapak tentara. Alasannya, apel hendak dimulai. Padahal minggu sebelumnya, apel ya apel aja Pak, emangnya grogi ya dilihatin sama kami-kami yang ngantri?
Sebagai warga yang patuh, kami pindah ke kursi yang dinaungi tenda.
Mulai banyak orang yang datang untuk antri. Hati berbisik, bakalan ndak beres sepertinya ini, karena kursi di ujung yang seharusnya kami tempati sebagai pengantri nomor satu, mulai ditempati orang-orang.
Benar saja.
Jelang jam sembilan, petugas membagikan formulir.
Tapi tanpa aturan!
Jadi saya, teman, dan mas-mas pengantri nomor tiga tadi, hanya bengong melihat orang-orang menyerbu bapak petugas. Formulir bahkan sampai terobek-robek diperebutkan beberapa orang.
Dan nggak ada komando apapun.
Pemberian formulir dihentikan.
Gemas, saya maju ke meja panitia. Protes ke ibu yang saya kenali minggu lalu memberikan pengumuman minta kami pulang itu.
“Bu, saya sudah datang minggu kemarin, dibilang vaksin habis. Pagi ini datang pagi-pagi banget, nggak kebagian formulir. Lalu saya musti gimana?” Agak-agak mau nangis sih saya karena saking marahnya.
Ibu itu lantas memerintahkan pada petugas di sebelahnya. “Kasih aja dah.”
Akhirnya saya dapat formulir. No 351 dan 352 untuk saya dan teman. Coba kalau saya pasrah menunggu, nggak bakalan dapat dah.
Sebenarnya aneh juga sih mengapa harus pakai formulir lagi. Teman saya cerita, di banjar (desa adat) mereka, yang vaksin kedua nggak perlu isi formulir. Cukup tunjukkan kartu tanda vaksin pertama plus KTP asli.
Well, lain tempat lain cara ya. Padahal masih sama-sama di Bali ini, bisa beda tata cara gitu.
Setelah dapat formulir, perjalanan masih panjang, sobat.
Urutannya sih simple. Ukur tensi, ke meja pendaftaran (lagi), trus nunggu dipanggil untuk suntik.
Saya lihat meja tempat ukur tensi nggak beraturan gitu. Nggak jelas nomor berapa yang duduk mengantri di sana. Yowis, saya nekad aja ikut duduk, sementara teman saya yang peragu, memilih pasrah berdiri.
Saya bilang ke ibu-ibu di sebelah saya yang pegang nomor 60-an, “Maaf ya Bu, saya ini sebenarnya udah dari pagi banget di sini. Gara-gara pembagian formulir nggak jelas, akhirnya dapat nomor urut 300-an deh. Gapapa ya, saya ikut antri ukur tensi dulu, kalau nggak ntar keburu panas deh.”
Ibu-ibu itu jadinya simpatik banget, mungkin karena wajah saya memang udah dari sononya melas gini. Akhirnya saya ukur tensi tanpa hambatan.
Ternyata, nggak lama setelah saya duduk itu, petugas mulai menertibkan antrian untuk ukur tensi. Kalau nomor antrian tidak termasuk yang disebut petugas, nggak boleh duduk. Jadi teman saya yang kurang sigap itu, nggak bisa nyalip ukur tensi sih.
Syahdan, di belahan lapangan yang lain, ada antrian mengular untuk ukur tensi di meja kedua. Ternyata itu khusus antrian karyawan sebuah perusahaan. Senang melihatnya, perusahaan di Bali aktif dan turut giat memvaksinasi karyawannya.
Teman saya mencoba menyusup ngantri di situ. Nggak butuh waktu lama, ditegur oleh ibu-ibu yang kayaknya sih HR perusahaan yang bersangkutan.
Lagi-lagi, saya yang muka badak ini maju. “Bu, saya dan teman saya ini sudah ngantri jam enam pagi. Tapi ibu tahu sendiri, pembagian formulir nggak jelas, jadinya kami dapat nomor 300-an. Boleh ya Bu, teman saya numpang ukur tensi di sini? Boleh, ya?”
Karena selain bermuka badak saya juga bermuka melas, ibu itu membolehkan teman saya ikut antri. Setelah itu, beberapa muka asing alias bukan karyawan yang turut antri tetap diminta oleh beliau untuk keluar barisan. Beruntung banget teman saya masih dapat dispensasi.
Urusan ukur tensi beres. Pas mau serahin formulir ke meja pendaftaran kedua untuk antri suntik, ditolak sama petugas karena nomor kami masih jauh dari yang diperbolehkan antri.
Yowislah, yang penting ada waktu buat istirahat dan isi perut, daripada antri panas-panasan.
Sekitar satu jam lebih kami ngadem, minum dan makan cemilan, sampai saya mengajak teman saya untuk kembali ke meja pendaftaran.
Formulir kami diterima oleh bapak petugas, dan diminta untuk menunggu sampai dipanggil. Kami perhatikan, lha yang dipanggil kok ibu-ibu kantoran terus, sementara formulir kami ditaruh di urutan belakang.
Mau gimana lagi. Hanya bisa berdiri pasrah.
Eh tahu-tahu seorang bapak tentara, lupa saya pangkatnya apa, menunjuk-nunjuk saya. “Ibu ini, saya lihat sudah dari pagi? Kok masih saja antri di sini?”
Wah senang sekali ada yang mengenali kami! Singkat cerita, formulir kami segera didahulukan dan atas perintah Bapak itu, kami segera dipanggil.
Habis itu masih ngantri nunggu suntik. Kira-kira lima belas menit dah sampai giliran saya dan teman.
Usai disuntik, sesuai petunjuk kami harus menunggu tiga puluh menit untuk memastikan tidak ada efek samping. Kami duduk-duduk di meja, bertukar cerita dengan sesama pemburu vaksin. Ketemu lagi dengan mas-mas yang ngantri bareng kami sedari pagi. Dia tidak seberuntung kami yang dikenali oleh Bapak tentara tadi, jadi dia harus pasrah menunggu nomor antriannya dipanggil.
Tiga puluh menit lebih setelah disuntik, kami baru beranjak pulang.
Lega. Sudah disuntik vaksin dua kali.
Meskipun, ya, kami sadar bahwa vaksin bukan berarti membuat kami kebal akan virus corona. Protokol kesehatan masih harus kami ikuti. Perjalanan masih panjang, pun jika Bali sudah “hijau” namun mayoritas daerah lain di Indonesia masih “merah”, rasanya jadi nggak bermakna juga kehijauan Bali tersebut.
Beberapa catatan sehubungan dengan pengalaman saya di atas:
- Tidak semua tempat vaksin di Bali sekacau cerita saya ini. Yang diselenggarakan di hotel, rata-rata berlangsung dengan tertib dan terorganisir. Meskipun tetap di awal pelaksanaan, ada cerita-cerita tentang ketidaksiapan pelaksana. Tidak ada yang sempurna yekan, apalagi di negara +62.
- Belakangan malah lebih mudah dapat vaksin. Beberapa rumah sakit membuka pendaftaran online.
- Saat saya bengong selama menunggu vaksin, saya melihat bapak-bapak tentara yang sibuk membantu penyelenggaraan vaksin. Saya berpikir, dahulu mereka dipersiapkan untuk membela negara dari serbuan musuh. Siapa sangka, musuh yang mereka hadapi sekarang bukanlah sesama tentara dari negara musuh, namun berupa virus jahat. Terima kasih, bapak-bapak TNI atas pengabdian bapak!
- Penundaan vaksin kedua bukan hanya saya alami, tapi juga banyak orang. Salah seorang teman malah menerima berita penundaan dua kali. Nggak tahu deh gimana distribusi vaksin di negara ini, tapi logikanya, buat apa vaksin pertama kalau vaksin kedua tidak digaransi ketersediaannya?
Mohon maaf, tidak ada foto satupun karena saya terlalu fokus berburu vaksin sehingga malas untuk foto-foto.
Kalian, sudah vaksin belum? Sudah vaksin atau belum, silakan baca tulisan saya mengenai Bali setahun setelah pandemi.