Self-healing

Self-Healing Ala Bayik

Bagaimana cara kamu menyembuhkan luka hati?

Topik hari ke-25 dari 30 Days Writing Challenge ini agak malesin. Think of any word. Search on google images. Write something inspired by 11th image. Awalnya mau search pakai kata “wine”. Tapi ya jelas gambar yang keluar semua gambar wine. Tidack menantang.

Akhirnya search kata “healing” aja deh. Ternyata hasil pencarian keluarnya kayak gini.

self healing google images
Hasil pencarian di Google Images

Jadi, mari menulis tentang self-healing.

Self-healing adalah proses pemulihan yang kita lakukan untuk menyembuhkan diri dari luka batin, trauma, kelelahan emosional, yang pernah kita alami.

Karena ada embel-embel kata “self”, tentunya jelas, proses pemulihan ini kita lakukan sendiri tanpa campur tangan orang lain.

Hmm, it fits me well sepertinya, ya. FYI tidak semua orang mampu melakukan self-healing ini ya. Beberapa mungkin memerlukan pendampingan tenaga profesional seperti psikolog atau psikiater.

Jadi yang saya bagikan di tulisan ini adalah pengalaman pribadi saya. Tentunya tidak berlaku bagi semua orang.

Kalau saya runut ke masa lalu, rasanya batin saya ini sudah kebas saking seringnya terluka.

Toh, tetap saja ada peristiwa yang terjadi, terkadang serupa dengan yang telah lalu, terkadang hadir dalam wujud baru. Yang ujung-ujungnya membuka luka lama, atau menorehkan luka baru.

Meskipun, seiring bertambahnya usia, makin cepatlah penanganan yang saya lakukan agar luka itu tidak meruyak lama.

Kalau dulu, nangis-nangis karena patah hati bisa tujuh hari tujuh malam, dan semua orang harus tahu kalau saya sedang patah hati.

Sekarang, eh, kemarin-kemarin, nangis sih tetap tujuh hari tujuh malam, tapi semua cukup dipendam sendiri. Hanya satu orang yang menjadi tumpahan cerita dan saya update berkala, itupun dengan tujuan just in case terjadi apa-apa dengan saya, dia tahu semua cerita di baliknya.

Sebenarnya, saya termasuk pendendam.

Cuma sekarang, saya sudah menguasai ilmu forgive, but not forget. Dibilang pendendam sih sudah enggak karena saya sudah maafkan semuanya. Tapi karena ingatan saya (seringkali) memang kuat, ya mau gimana lagi, memang nggak gampang melupakan segala yang penuh arti dalam sekejap.

Selain itu, saya juga semakin sadar bahwa manusia itu berbeda-beda. Tidak semua berpikiran sama seperti saya. Tidak semua punya standar yang sama seperti saya.

Toh, saya sendiri juga tidak sempurna. Saya sendiri juga sering bikin salah.

Saya juga banyak melukai hati orang.

Mengapa tidak saya terima saja ketidaksempurnaan mereka, memaafkan mereka seperti juga mereka yang lain memaafkan saya?

Penerimaan, pemaafan, ini berkaitan erat dengan self-healing yang kita bicarakan.

Untuk menyembuhkan sesuatu, kita harus mengakui dulu bahwa ada yang perlu disembuhkan. Betul?

Termasuk mengulik penyebab luka itu. Semampunya saja sih, karena tetaplah ingat: curiosity kills the cat.

Kalau merasa belum cukup kuat untuk mengetahui seluruh kebenaran tentang apa yang terjadi, ya tidak usah dipaksakan.

Saya sendiri tidak mengacuhkan banyak sekali pesan, email, atau apapun yang sekiranya bisa mengganggu kestabilan mental saya. Karena saya tahu, saya belum cukup kuat untuk menerima kebenaran yang hendak disampaikan.

Setelah menerima – sekuat saya – barulah lanjut ke proses memaafkan.

Siapa yang perlu dimaafkan? Siapa saja yang terlibat, termasuk diri sendiri.

Terkadang malah, tidak ada yang perlu dimaafkan. Anggap saja Semesta sedang bercanda.

Seorang teman beberapa waktu lalu mengirim pesan pada saya. (Maaf ya Kak, saya tulis buat contoh kasus saja.)

“Aku berhutang maaf, karena aku tahu, dan aku diam.”

Pada saat kejadian itu berlangsung, saya memang sempat marah pada semua, termasuk pada diri sendiri.

Satu dari sekian banyak pertanyaan yang hadir menghunjam adalah: sebegitu banyak teman baik saya, dan semua diam? Apakah mereka menganggap, oh, it’s not my kitchen. Bukan urusan gue.

Tapi ketika saya membaca pesan teman saya itu – yang terkirim cukup lama setelah timbul amarah itu – aneh bahwa saya cuma tersenyum membacanya.

Tidak ada lagi amarah.

Tidak ada lagi rasa dikhianati, ditinggalkan, dianggap tidak ada.

Yang ada hanya pemakluman dan pemahaman.

Bahwa yang terjadi adalah yang memang seharusnya terjadi.

Apa yang saya lakukan selama proses pemulihan diri? Banyak. Googling aja “self-healing method” misalnya. Bakalan keluar sejibun resep praktis yang bisa kita coba.

Tentu saja, terkadang air mata saya masih menetes jika kenangan lama bersemi kembali.

Dan saya sadar, luka batin saya sebenarnya belum sepenuhnya sirna. Baru berhenti berdarah. Baru tertutup kulit ari setipis kulit martabak mini seribu perak sebiji di warmindo situ.

Jadi saya harus hati-hati, agar luka ini tidak terbuka kembali.

Saya harus menjaga hati, dan jaga diri, agar luka ini menutup sempurna, jaringan yang dulu rusak kini kembali kuat, dan tidak lagi mengganggu gerak-gerik saya.

Saat itulah, self healing saya benar-benar telah selesai.

Share:

Facebook
Twitter
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

On Key

Tulisan Terbaru