Siang itu, seorang teman menjawil saya. “Lihat tuh,” bisiknya sambil mengarahkan pandangan saya ke seorang teman yang baru datang dari luar kota dan berdiskusi dengan boss kami di ruang meeting yang transparan. “Kamu notice nggak, setiap ke Jakarta dia selalu pakai jas hitam yang itu-itu saja, dengan kemeja garisnya yang itu-itu juga.”
Dan teman saya terkikik seakan-akan memakai baju yang itu-itu saja adalah satu hal lucu yang pantas ditertawakan.
Tanggapan saya sih, seperti biasa, cuma senyum dan kembali ke pekerjaan sebagai pertanda saya tidak berminat meladeni topik yang bagi saya… dangkal.
Karena saya sendiri terbiasa memakai baju yang itu-itu saja. Lha punyanya juga itu-itu doang. Sedari kecil saya terbiasa untuk membeli baju tatkala hari raya: Lebaran dan Natal (karena orang tua beda agama, hikmahnya adalah saya punya dua hari besar untuk dirayakan). Orang tua juga mendidik saya untuk tidak menilai orang lain dari apapun, entah itu pakaian, titel, pekerjaan, jabatan, atau atribut fisik apapun.
Kalau dipikir-pikir, berapa banyak sih baju yang kita perlukan? Tentu, apabila mengikuti trend, akan sangat tak terbatas keinginan kita. Tapi kita cuma punya 7 hari dalam seminggu, 31 (atau 30) hari dalam sebulan, 365 (atau 364) hari dalam setahun. Apa iya kita perlu baju 365 buah agar setiap hari ganti baju? Apa iya orang lain sepeduli teman saya di paragraf awal tadi?
Menjadi minimalis, membuat hidup saya lebih mudah.
Saya nggak perlu seperti kebanyakan teman cewek yang bingung hendak pakai baju apa. Apa yang perlu saya bingungkan, pilihan saya terbatas. Celana jeans cuma punya 2. Kaos santai cuma punya tiga. Baju kemeja buat kerja, nggak lebih dari lima. Irit bener, bukan?
Saya pernah baca di blog luar (maksudnya, bloggernya bukan orang Indonesia, gitu). Intinya si penulis bilang: “Saya nggak keberatan dikenal sebagai cewek berjins dengan kaus biru.” Karena sama seperti saya, gaya hidup minimalis membuat koleksi bajunya terbatas. Tapi itu bukan masalah buatnya. Buat saya juga.
Balik ke paragraf awal tadi, saya lantas membatin, jangan-jangan teman itu juga ngomongin saya di belakang sambil menuding-nuding baju saya yang itu-itu aja. Ya, seperti saya bilang, nggak masalah sih buat saya. Malah, saya jadi tahu pola pemikiran dia, yang suka menilai orang dari kulitnya.