Batasan untuk menjadi bahagia

Kita Butuh Batasan dalam Hidup Untuk Bahagia

Orang-orang cenderung tidak menyukai pembatasan. Padahal, batasan itu penting adanya.

Percakapan dengan beberapa teman baru di awal minggu ini, menjentikkan semacam pencerahan bagi saya. Biasalah, ngobrol ngalor ngidul tanpa tendensi dan intensi apa-apa, ternyata kuasa mendatangkan ilham dan menginspirasi.

Salah satunya, tentang batasan.

Entah gimana kami bisa sampai pada topik batasan tersebut.

Teman baru saya bilang, batasan itu perlu dalam hidup.

Bayangkan jika satu lukisan panjangnya tak terkira, bahkan tanpa batas. Bagaimana kita bisa menikmatinya, jika kita tak pernah akan sampai ke ujung? Sedangkan untuk menikmati satu karya, kita harus memandangnya utuh.

Bayangkan jika kita bertindak sesuka hati kita, tanpa ada batasan norma atau kesopanan misalnya. Jika setiap orang menuruti kata hati tanpa terbatasi, dunia ini akan chaos.

Dan masih banyak lagi contoh-contoh yang bisa kita ambil untuk memperkuat dalil: batasan itu perlu.

Perlu untuk apa?

Salah satu mengapa batasan itu perlu, selain menjaga keteraturan dalam hidup, adalah untuk menggarisbawahi bahwa ini sudah cukup.

Dan merasa cukup adalah salah satu kunci kebahagiaan.

Bayangkan jika tidak ada batasan. Kita tidak akan pernah merasa cukup.

Keinginan yang selalu ada tanpa batas, takkan mungkin tercukupi. Takkan mungkin terpuaskan. Dan pada akhirnya: takkan mungkin mencapai garis akhir bernama kebahagiaan.

Namun, bagaimana dengan mimpi, dan kreativitas?

Sering kali kita dengar, bermimpilah tanpa batas. Berkreasilah tanpa batas.

Pada kenyataannya, toh kita harus tahu batas dalam bermimpi dan berkreasi.

Jikalau tidak, mimpi saja terus, tanpa mencapai garis akhir bernama eksekusi.

Atau, berkreasilah terus, tanpa hirau keterbatasan fisik kita dalam mewujudkan setiap ide kita.

Sadar atau tidak, batasan itu pasti ada. Dan tidak bisa dihindari.

Namun semua itu kembali ke mindset.

Kita, sebagai yang empunya diri, adalah yang mampu menetapkan batasan-batasan untuk kita sendiri.

Beberapa batasan, terutama yang bersifat fisik, mungkin tercipta tanpa kita maui. Misalnya, tinggi badan kita cuma 150 cm, pastinya kita terbatas ruang gerak untuk menjangkau rak paling atas di gudang.

Selebihnya, adalah mindset, dan ini yang bisa kita kontrol.

Apakah kita menyerah dengan tinggi badan kita tadi, atau kita mau bersusah payah mencari tangga atau alat bantu lainnya, agar kita bisa menjangkau rak paling atas?

Mengakui bahwa kita punya keterbatasan, dan menetapkan sejauh mana batasan yang kita hendak terapkan dalam hidup, bukanlah satu bentuk kekalahan.

Itu adalah satu bentuk kearifan.

Kita sadar bahwa kita ini serba terbatas. Kita bukan Tuhan yang serba Maha.

Paham batasan kita bukan berarti sama dengan menyerah.

Paham batasan kita lebih menjadi pengingat bahwa kita sudah sampai di titik terjauh yang kita bisa.

Paham batasan akan menetralkan rasa tidak puas kita. Lha gimana, sudah sampai di batas kemampuan, kekuatan kita kok? Mau gimana lagi selain harus merasa cukup, dan merasa puas?

Dan kita akan menjadi lebih mudah untuk merasa bahagia.

Percaya?

Share:

Facebook
Twitter
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

On Key

Tulisan Terbaru