Belakangan ini saya mudah tersisipi melankolisme yang membuat hari-hari saya terasa mengambang dan absurd. Hal yang tak pernah terpikirkan, ya, mungkin karena dulu tak ada peluang dan waktu untuk hadir, belakangan mampir di benak saya.
Jadi overthinking gitu deh.
Misalnya: tentang menjadi tua.
Ada sesuatu yang menggelisahkan.
Menjadi tua berarti kehilangan kesempatan untuk banyak hal.
Menjadi yang terdekat bagi seseorang, misalnya. Sepertinya, saya lahir terlalu cepat sehingga jarak usia yang merentang sedemikian panjang. Dan ketika saya ingin mengetuk pintu hatinya agar bisa tetirah sejenak, sering kali, ada semacam ketidakpantasan yang merongrong dan membuat ragu.
Paham maksud saya?
Kata seorang anak muda, umur siapa yang tahu. Meski saya lahir 24 tahun lebih dulu darinya, bisa jadi dia mati lebih dulu dari saya.
Yaiyasih. Cuma tetap saja itu tidak bisa menghilangkan fakta bahwa usia kami beda jauh.
Lalu apa?
Ya jadi nggak pantas saja, gitu, untuk meminta macam-macam darinya sementara saya lebih pantas jadi ibunya.
Nah, itu namanya tahu diri.
Iya, saya tahu diri kok. Makanya terus jadi merenung sendirian di pojokan.
Atau mungkin juga, saya masih tidak tahu diri sehingga masih punya keinginan macam-macam.
Hmm. Saya tidak pernah punya keinginan macam-macam, kok.
Bahkan terkadang saya heran, bagaimana bisa saya tidak punya keinginan.
Jadi kalaupun saya ingin, itu adalah tentang hal yang sederhana.
Tapi sekali lagi, sesuatu yang sederhana bisa berarti kemewahan bagi orang-orang berumur seperti saya.
Hadeh. Balik lagi ke soal usia.
Jangan-jangan, saya sedang krisis setengah baya.
Ah, itu hanya mitos.
Tapi ya, siapa tahu?
Lumayan ‘kan, ada yang digelisahkan, sehingga takkan pernah kehabisan bahan tulisan.
Tabik.