Sudah berbelas tahun silam saya membaca buku karya Tetsuko Kuroyanagi, “Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela” dan terpukau oleh dunia kanak-kanak yang polos dan menggemaskan yang diwakili oleh gadis kecil bernama Totto-chan. Saya selalu merekomendasikan buku ini untuk dibaca oleh siapa saja, jadi kalau kalian belum baca, silakan lari ke toko buku terdekat karena buku ini sudah dicetak ulang dengan hard-cover pula.
Dan saya sudah lama tahu bahwa Tetsuko Kuroyanagi sudah menulis buku “Totto-chan’s Children: A Goodwill Journey to the Children of the World” namun baru kemarin berminat untuk membelinya. Dan membacanya, tentu. Seperti biasa, buku bagus takkan butuh waktu lama untuk saya kunyah, termasuk buku ini.
Kalau buku pertama mengisahkan masa kecil Totto-chan dan pengalamannya di sekolah, buku kedua ini berisi cerita tentang pengalaman Totto-chan saat telah dewasa dan menjadi Duta UNICEF (United Nation International Children’s Emergency Fund). Dia ditunjuk menjadi Duta UNICEF tahun 1984, dan memulai tur kemanusiaannya ke berbagai negara.
Dan jujur, cerita yang ada di buku ini menggetarkan hati saya sekaligus menampar-nampar: nikmat macam apalagi yang akan kauingkari sekarang setelah membaca buku ini?
Kita telah lama tahu berita tentang kelaparan di Ethopia. Berita tentang perang saudara di Bosnia. Kemiskinan di Bangladesh. Rasanya tak asing lagi melihat foto anak korban kelaparan di Afrika, dengan badan kurus tulang menonjol dan mata bulat menatap tanpa dosa.
Tapi membaca cerita-cerita semacam itu secara intens, terasa sungguh beda.
Memang, cerita yang disuguhkan Totto-chan (atau mungkin saya harus memanggilnya: Tetsuko?) berentang waktu 1984 sampai dengan 1996. Dan sekarang sudah tahun 2015. Namun toh berita-berita tentang kelaparan dan peperangan masih saja mengakrabi kita.
Buku Totto-chan’s Children ini masih terasa relevan bagi saya. Meskipun, bermacam kisah yang mengerikan itu terkadang mental membentur hati saya yang sudah terlanjur beku dan tak peduli. Maka saya namakan itu: kengerian yang senyap. Sebegitu jauh jarak antara saya dan Afrika, sebegitu senjang apa yang saya nikmati setiap hari dengan apa yang anak-anak korban kelaparan itu hadapi. Saat menulis posting ini, saya mengunyah pie susu asli dari Bali entah untuk keping keberapa. Sedangkan anak-anak di Rwanda, bubur gandum pun mereka tak bisa peroleh.
Buku yang bagus selalu memantik pertanyaan lebih lanjut: apakah arti hidup ini bagi mereka yang sudah tak punya apa-apa? Yang bahkan untuk memejamkan mata pun, tak punya tenaga? Bayangkan! Bahkan untuk memejamkan mata pun, tak punya tenaga!
Sementara kita di sini, berlimpah ruah kenikmatan namun sering ingkar dan merasa kekurangan.
Dan anak-anak yang diciptakan Tuhan murni dan baik bak selembar kertas putih, dengan apa kita membesarkan mereka? Dengan menanamkan kebencian sedari dini untuk memusuhi apapun yang berbeda dari kita? Atau dengan cinta kasih seperti Totto-chan kecil dibesarkan?
Saya berharap anak-anak Indonesia dibesarkan dengan akal sehat, agar kelak ketika mereka dewasa, mereka bisa berpikir bijak. Indonesia tidak akan menjadi ajang perang saudara dan kita tidak perlu merasakan penderitaan sebagaimana yang digambarkan Tetsuko di bukunya. (Kekuatiran yang berlebihan? Ah, ayolah. Siapa yang tidak kuatir melihat gejala hilangnya akal sehat masyarakat kita? Sebegitu mudah terhasut, sebegitu mudah membenci. Memang tidak semua – karena itu saya bilang: gejala.)
Saat aku melihat bayi-bayi yang kurus,
Hampir seperti tengkorak hidup, berjalan lewat
Dengan sekuat tenaga dan keinginan,
Aku menangis.
Aku ingin berteriak keras-keras,
“Di Jepang, anak-anak bunuh diri!”
Apakah ada yang lebih menyedihkan?
Apakah arti kemakmuran? Apa itu kelimpahan?
(“Totto-chan’s Children”, hal. 301)