Waktu jalan-jalan ke Gramedia minggu kemarin, saya menemukan buku karangan Mitch Albom ini dalam edisi bahasa Indonesia. “Sang Penjaga Waktu” alias “The Time Keeper” ternyata sudah dirilis tahun 2012. Oya, Mitch Albom ini pengarang yang sama dengan “Telepon Pertama Dari Surga“.
Seperti judulnya, buku fiksi ini bercerita tentang waktu. Semacam dongeng versi Mitch Albom gitu deh. Kita dibawa ke masa sebelum waktu tercipta, saat seorang manusia bernama Dor mereka-reka tentang waktu dan menciptakan ukuran waktu yang di kemudian hari diimplementasikan dalam bentuk: jam.
Tema yang cukup menarik ya?
Dor, sang pencipta waktu, dijatuhi hukuman oleh Tuhan karena dia mencoba mengukur anugerah terbesar dari Tuhan. Dia diasingkan dalam gua hingga 6000 tahun, dan dilepaskan kembali ke dunia (pada masa modern saat manusia sudah mengenal jam juga handphone) dengan misi menebus kesalahannya.
Bertemulah dia dengan dua tokoh yang dia pilih saat masih berada di gua dan dipaksa mendengarkan suara orang-orang yang mengeluh tentang waktu.
Sarah Lemon, pelajar yang jatuh bangun karena cinta, merasa waktu yang dia habiskan di dunia telah cukup. Dengan kata lain, dia ingin mati.
Victor Delamonte, pengusaha sukses, merasa waktu yang dia habiskan di dunia kurang, dan dia ingin memperpanjang kehidupannya. Paling tidak, mati untuk kemudian terlahir kembali.
Tugas Dor adalah mengajarkan makna waktu pada mereka.
Gaya penceritaan yang lompat-lompat, dari Dor ke Sarah lalu Victor, membuat saya susah terkoneksi dengan para tokoh. Nggak ada hubungan emosional yang mendalam. Makanya buku ini nggak langsung habis dalam sehari.
Tapi mengikuti penjabaran Mitch Albom tentang waktu, sungguh mengasyikkan. Kalau di buku “Telepon Pertama Dari Surga” kita mendapat pelajaran tentang sejarah telepon, di buku “Sang Penjaga Waktu” ini kita dihadapkan pada pemaknaan waktu.
Mengapa kita sering mengeluh kehabisan waktu? Sehari 24 jam takkan cukup, kata pekerja yang overload kerjaan dan lemburan memaksa dia bekerja non-stop tiga hari tiga malam.
Sebaliknya….
Waktu seakan berhenti saat saya memandangmu, kata pecinta yang kasmaran, yang mabok cinta sampai nggak peduli jam kunjung asrama sudah habis dan dia harus pergi pulang.
Sekian banyak pujaan dan juga keluhan tentang waktu.
Dan Mitch Albom menceritakan pemaknaan waktu dengan cantik. Meskipun sedikit klise, namun bagi saya buku ini cukup menggugah dan membuat saya tersadar, bagaimana selama ini saya memaknai waktu?
Bagaimana jika waktu terhenti?
Bagaimana jika ada seseorang yang bisa menghentikan dan menjalankan waktu kembali? Dan selama dunia berhenti beraktivitas seiring bekunya waktu, seseorang itu bisa berkelana tanpa perlu terganggu dan mengganggu seisi dunia. Asik banget ‘kan?
Dan apa yang tersisa bagi saya setelah membaca buku ini? Bagi saya, waktu adalah sekarang. Pun ketika saya mengetikkan kata-kata ini, waktu yang tadi saya bilang sebagai “sekarang”, itu sudah berlalu. “Sekarang” ibarat satu titik di sebuah sungai yang selalu bergerak, punya arus, terkadang melambat, terkadang melemah, terkadang mengganas. Sekian.