Ada satu posting yang tertunda, terbenam terus di benak saya. Tahun lalu, saya sudah menulis tentang Serat Centhini dan tekad saya untuk membaca satu jilid Serat Centhini setiap bulannya. Sebenarnya, target menghabiskan 12 jilid karya agung itu (meski dalam bentuk sadurannya), tercapai di tahun 2016. Nggak pernah bolong, setiap bulan saya menghabiskan 1 jilid.
Cuma males aja nulisnya di blog hehehe. Padahal ada beberapa pembaca yang meminta update-annya.
Jadi mumpung niat, malam ini mau nulis lagi deh tentang Serat Centhini. Kali ini tentang rangkuman cerita 12 jilid saja ya. Next saya tulis tentang erotika yang tertulis di tiap jilidnya. Atau mungkin juga tentang beragam ilmu yang banyak dipaparkan di tiap jilid.
Saya membaca Serat Centhini dalam bahasa Indonesia edisi novelisasi karya Agus Wahyudi. Diterbitkan oleh Penerbit Cakrawala Yogyakarta, dengan cetakan pertama tahun 2015. Tujuan dari novelisasi tersebut adalah untuk memudahkan para pembaca agar lebih mudah saat menikmati karya adiluhung pujangga Jawa abad ke-19 ini. Aslinya, Serat Centhini berbahasa Jawa dalam bentung tembang (puisi Jawa).
Berikut ringkasan kedua belas jilid Serat Centhini edisi novelisasi. BTW, ringkasan ini saya ambil dari teks di sampul bagian belakang buku.
Table of Contents
ToggleSerat Centhini 1: Kisah Pelarian Putra-putri Sunan Giri Menjelajah Nusa Jawa
Serat Centhini dibuka dengan Babad Giri Mataram yang mengisahkan tentang lahirnya Sunan Giri, masa kejayaannya, hingga runtuhnya Giri Kedhaton. Syahdan pada masa Sunan Giri (Sunan Kawis Guwa-ed.), Kerajaan Mataram di bawah pimpinan Sultan Agung bersekutu dengan Pangeran Pekik dari Surabaya untuk menundukkan kekuasaan Sunan Giri. Peperangan dahsyat tak terelakkan hingga akhirnya Giri Kedhaton takluk di bawah kekuasaan Mataram. Sunan Giri beserta keluarganya menjadi tawanan. Namun ketiga anaknya yaitu Jayengresmi, Jayengsari dan Rancangkapti berhasil lolos, melarikan diri ke hutan.
Mereka terpisah. Jayengresmi ke arah barat hingga akhirnya sampai di Gunung Karang Banten, dan diangkat anak oleh Ki Ageng Karang. Jayengsari bersama Rancangkapti ke arah timur hingga sampai Banyuwangi, sebelum akhirnya berlayar menuju Pekalongan dan diangkat anak oleh Syekh Ahadiyat di Sokayasa. Banyak hal yang terjadi pada pengembaraan panjang mereka yang menjadi awal alur karya sastra ini.
Serat Centhini 2: Pengembaraan Cebolang Mencari Jati Diri
Syekh Ahadiyat (orang tua angkat Jayengsari dan Rancangkapti) memiliki seorang putra bernama Cebolang. Pemuda itu pergi mengembara mencari ilmu diiringi empat orang abdinya. Di awal perjalanan, mereka singgah berziarah ke makam Syekh Jambukarang di Purbalingga. Di sana, atas karomah dari Hyang Maha Agung, mereka mendapatkan restu untuk melanjutkan pengembaraan. Hal ini membuat niat mereka semakin mantap, langkah terasa ringan tanpa beban.
Buku jilid ke-2 ini menjadi awal kisah pengembaraan Cebolang beserta abdinya. Dalam perjalanannya, mereka belajar berbagai ilmu. Ilmu katuranggan, petung kuda, membaca tanda-tanda alam, seluk-beluk pernikahan dan perceraian, ilmu asmara, keris, gamelan, dan lain-lain. Juga berbagai kisah, di antaranya kisah para wali, wayang purwa, asal-mula aksara dan bahasa, dan kisah hikmah lainnya. Berbagai ilmu dan kisah itu diuraikan secara gamblang di buku ini.
Serat Centhini 3: Perjalanan Cebolang Meraih Ilmu Makrifat
Masih di ibukota Mataram, Cebolang belajar berbagai macam ilmu. Di antaranya, Sastra Jendar Hayuningrat, ilmu nepton, dan petungan dengan aksara Jawa. Cebolang juga berguru pada pertapa dari Gunung Merapi, belajar perhitungan hari menurut petungan dan pasaran, ilmu bermain kartu, menilai dan memilih wanita, ilmu asmaragama, sejarah ilmu makrifat Jawa, juga sejarah Islam di Jawa. Di Prambanan, Cebolang belajar tentang Babad Pengging dan asal usul Candi Prambanan, Suluk Hartati, asal usul manusia, Wirid Hidayat Jati, shalat makrifat, ilmu tasawuf, makna selamatan kematian, ilmu simbol pakerisan Sunan Kalijaga, dan ilmu-ilmu lainnya.
Perjalanan Cebolang dan abdinya pada buku jilid ke-3 ini diakhiri dengan aksinya di atas panggung saat perayaan hari lahir Pangeran Tembayat. Penampilan mereka sangat memukau hingga mampu memancing gairah dan emosinal para penontonnya.
Serat Centhini 4: Antara Cebolang dan Nyai Demang
Dalam pengembaraannya, Cebolang dan abdinya menyinggahi beberapa tempat dan menimba berbagai ilmu dari para gurunya. Di antaranya, ilmu pengobatan Jawa, pengetahuan silsilah Raja Demak, Pajang, dan Mataram, Jangka Jayabaya, kisah Jaka Tingkir, ilmu olah senggama, khasiat Asmaul Husna, dan kisah Dewa Ruci. Hingga sampai di Desa Paricara, Nyai Demang Puspamadu terpesona dengan Cebolang dan berakhir dengan perbuatan olah asmara antara keduanya.
Buku jilid ke-4 ini mengisahkan perjalanan Cebolang dan abdinya menuju Panaraga yang diwarnai dengan petualangan nafsu supiyah. Saat tiba di Desa Selaung Panaraga, Cebolang dan Nurwitri tergoda oleh beberapa wanita pedagang yang kemalaman di perjalanan, hingga mereka mengisi malam itu dengan permainan asmara. Begitu pula kisah mereka yang harus melayani puluhan warok dan gemblaknya secara bergantian, sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan ke Gunung Wilis dan bertobat.
Serat Centhini 5: Pertobatan Cebolang dan Syekh Amongraga Menjemput Jodoh
Cebolang dan Nurwitri sampai di Wirasaba. Di sana mereka terjerumus dalam perbuatan tercela yang membuat Ki Adipati murka. Mereka melarikan diri dan bertemu dengan Ki Buyut Danadarma, lalu mereka bertobat dan diwejang untuk segera pulang ke Sokayasa.
Setibanya mereka di Sokayasa, Cebolang pun dinikahkan dengan Rancangkapti. Namun ternyata keberadaan mereka sebagai buronan Mataram tercium juga, lalu memutuskan untuk pergi hingga sampai di Desa Wanataka. Ki Hercaranu mengganti nama mereka. Jayengsari berganti nama menjadi Syekh Mangunarsa, Cebolah menjadi Syekh Anggungrimang.
Di tempat lain, Jayengresmi di Gunung Karang (Banten) berganti nama menjadi Syekh Amongraga. Ki Ageng Karang memerintahkannya untuk pergi ke Wanamarta. Setibanya di Wanamarta, Syekh Amongraga hendak dinikahkan dengan Niken Tambangraras, putri Ki Bayi Panurta. Kisah pada jilid ke-5 ini berakhir pada malam midodareni Syekh Amongraga dan Niken Tambangraras yang digelar cukup meriah.
Serat Centhini 6: Pernikahan Syekh Amongraga dan Tambangraras
Akhirnya Syekh Amongraga dan Niken Tambangraras sah menjadi suami istri. Pada malam pertama, mereka tidak melakukan hubungan suami istri sebagaimana umumnya. Semalaman Syekh Amongraga memberi wejangan kepada istrinya tentang masalah shalat. Sementara Centhini (pembantu mereka) ikut mendengarkan wejangan itu dari balik pintu. Pagi harinya setelah menyantap hidangan bersama-sama dengan keluarga dan para santri, Ki Bayu Panurta meminta Syekh Amongraga menerangkan makna Kitab Ilmu Kajar. Syarah Syekh Amongraga membuat semua yang hadir yang selama ini dimabuk dunia itu menunduk dalam-dalam. Mereka merasa takut karena sudah tahu syariat namun masih suka melanggarnya.
Malam kedua, Syekh Amongraga kembali memberikan pelajaran agama kepada istrinya. Centhini pun ikut mendengarkan wejangan itu dari balik pintu. Hari berikutnya (sore hari) pengantin diboyong ke rumah adik bungsu istrinya yang bernama Jayengraga. Dan malam harinya, Syekh Amongraga kembali memberi wejangan kepada istrinya seperti pada malam sebelumnya.
Serat Centhini 7: Wejangan Syekh Amongraga tentang Ilmu Kesejatian
Sejak menikah dengan Niken Tambangraras, Syekh Amongraga masih sibuk mengajari para kerabat Wanamarta. Selain itu, hingga hari ke-40 malam-malam kebersamaan Syekh Amongraga dengan Niken Tambangraras diisi dengan berbagai wejangan ilmu kesejatian, di antaranya seperti kesempurnaan Islam, penjelasan Rukun Islam, dan dzikir. Selama itu mereka berdua tinggal di rumah Ki Bayi Panurta, hingga akhirnya mereka pindah ke rumah baru.
Barulah pada malam ke-41 pengantin itu melakukan hubungan suami-istri untuk pertama kalinya. Namun entah mengapa semenjak itu Syekh Amongraga menjadi pemurung. Selama seminggu ia hanya berada di surau, tidak mau pulang ke rumah. Istrinya pun menjadi sedih. Hingga pada puncaknya, Syekh Amongraga pergi meninggalkan istrinya dengan hanya meninggalkan surat saja. Buku jilid ke-7 ini ditutup dengan pengembaraan Syekh Amongraga beserta abdinya, Jamal dan Jamil menuju ke timur sampai dengan Banyuwangi, lalu ke barat menuju Malang, hingga ke Ponorogo.
Serat Centhini 8: Ujung Pengembaraan Jasmani Syekh Amongraga
Syekh Amongraga mengembara dari timur hingga Gunung Lawu. Hingga sesampainya di Giri Bangun (Karanganyar), di sana ia menyebarkan ajarannya kepada penduduk sekitar. Penduduk sangat antusias dengan apa yang diajarkan Syekh Amongraga. Ia juga mendapat julukan Ki Ageng Lemahbang. Sebanyak 20 orang santri lurah mendapat bimbingan khusus ari Syekh Amongraga melalui ketiga pengikutnya, Kiai Guru Jamal, Jamil, dan Wregajati. Nantinya sebanyak 20 santri lurah itu meneruskan pelajaran kepada para santri desa yang jumlahnya sekitar 400 orang.
Sementara itu, tiga kerabat Wanamarta, yakni Jayengresmi, Jayengraga dan Kulawirya mengembara mencari Syekh Amongraga. Mereka singgah di Desa Kempleng. Di desa ini Jayengraga dan Kulawirya terbuai oleh nafsunya hingga melakukan perbuatan tercela. Buku jilid ke-8 ini ditutup dengan perjalanan mereka ke Gunung Kelothok, lalu singgah di Desa Pulung. Di desa ini kembali Jayengraga dan Kulawirya mengulangi perbuatan tercelanya.
Serat Centhini 9: Pengembaraan Jayengresmi, Jayengraga, dan Kulawirya Mencari Syekh Amongraga
Jayengresmi, Jayengraga, dan Kulawirya pergi meninggalkan Desa Pulung melanjutkan pengembaraannya. Mereka singgah di padepokan milik teman Ki Bayi Panurta yang bernama Ki Sinduraga dan Ki Datuk Danumaya. Mereka juga sempat tersesat di Desa Tegaron yang ternyata adalah sarang penjahat. Mereka hendak dirampok dan dibunuh. Namun dengan keahlian ilmu olah kanuragan dan mangunah yang dimiliki Kulawirya, para penjahat yang jumlahnya sangat banyak itu dapat dikalahkan.
Dalam perjalanannya, tiga kerabat Wanamarta akhirnya sampai di tempat yang bernama Telaga Sasi. Tempat ini dulunya dipakai para raja Singasari untuk bersenang-senang. Salah satunya aalah Prabu Harya Menaksopal, ia bahkan bertapa di Telaga Sasi hingga tubuhnya moksa (hilang). Meski telah lama ditinggalkan, di malam hari tempat ini masih sering terdengar suara dalang yang mempertunjukkan wayang dan lengkingan suara sindhen yang mengiringinya, termasuk suara sorak sorai penonton.
Serat Centhini 10: Akhir Pengembaraan Kerabat Wanamarta
Dua putra Ki Bayi Panutra bersama kerabat Wanamarta mengembara mencari Syekh Amongraga yang pergi dan meninggalkan duka mendalam bagi Niken Tambangraras. Pengembaraan secara diam-diam ini ternyata mengantarkan mereka berkunjung kepada Ki Demang Kidang Wiracapa, yang tak lain adalah sahabat lama Ki Bayi Panurta. Di sana mereka disambut secara istimewa dan diberikan berbagai ilmu luhur.
Salah seorang putri pejabat dari Trenggalekwulan bernama Rara Widuri tergila-gila kepada Jayengraga dan meminta dinikahkan dengan lelaki pujaannya itu. Pesta pernikahan pun digelar besar-besaran di rumah Ki Demang Kidang Wiracapa. Kisah pada pesta ini diwarnai dengan tingkah polah Kulawirya dan Jayengraga yang berbuat semaunya. Hendak kembali ke tujuan semula, rombongan meninggalkan Lembuasta secara diam-diam, yang membuat Rara Widuri menjadi gila karena ditinggalkan Jayengraga. Hingga akhirnya mereka kembali pulang ke Wanamarta atas saran dari Syekh Ekawardi yang mereka temui di Desa Gubug.
Serat Centhini 11: Akhir Perjalanan Syekh Amongraga – Awal Menuju Penitisan Trah Mataram
Sukma Syekh Amongraga mengembara, terbang ke Gua Langse, Gua Songpati, dan Gunung Merapi, namun di situ ia selalu menemukan ludah bekas kunyahan sirih yang dikenalinya milik Sultan Agung. Tubuhnya bergetar menahan gejolak murka, menyadari bahwa dirinya telah terungguli oleh Sultan Agung. Ia memutuskan untuk kembali ke raganya, menguatkan tekad untuk bersemadi memohon wahyu Hyang Widi agar bisa mengungguli Sultan Agung.
Sultan Agung mendengar ada seorang yang dianggap durjana mengaku sebagai Syekh menyebarkan ajaran yang tak sesuai syariat agama tengah bertapa di dekat Pantai Selatan. Orang yang dimaksud tak lain adalah Syekh Amongraga. Sultan Agung mengutus Tumenggung Wiraguna untuk menangkap Syekh Amongraga dan dihukum larung di Pantai Selatan. Namun hal ini justru menjadi sarana pelepasan Syekh Amongraga menuju ke kesejatian.
Serat Centhini 12: Dua Sejoli Hidup Bahagia di Alam Kesempurnaan
Syekh Amongraga telah angraga sukma, tinggal di Pulau Besi bersama istrinya yang juga telah berbadan halus. Di pulau makmur itu mereka membagi-bagikan harta dan sedekah berupa emas, intan, juga permata, kepada siapa saja yang datang. Adalah seorang ulama bernama Datuk Ragarunting dari Pulau Rakit, Bengkulu, datang untuk menguji Syekh Amongraga, hendak meminta istrinya. Atas kehendak Hyang Agung, Syekh Amongraga dan Ni Selabrangta berhasil melakui cobaan ini. Datuk Ragarunting terkena akhibat dari perbuatannya.
Bertahun-tahun kemudian Syekh Amongraga meminta dua adik iparnya, Jayengresmi dan Jayengraga kembali ke Wanamarta. Mereka pun kembali ke Wanamarta bersama para istri, diikuti oleh sahabat-sahabat Ki Bayi Panurta. Dengan kembalinya kedua putra dan ketiga sahabatnya, sakit Ki Bayi Panurta pun sembuh. Kerinduan Ki Bayi dan Ni Malarsih pun terobati.
Pada akhirnya, Syekh Amongraga kembali bersatu dengan Ni Selabrangta atau Niken Tambangraras, hidup bahagia selamanya dan selalu bersama-sama. Bahkan di kehidupan setelahnya, suksma Amongraga dan Ni Selabrangta menitis ke dalam putra Sultan Agung dan putri Pangeran Pekik yang sudah ditakdirkan untuk berjodoh dan menurunkan para raja di tanah Jawa.
*****
Demikianlah ringkasan cerita yang terpapar di Serat Centhini dari jilid ke-1 hingga jilid ke-12. Membaca Serat Centhini tidaklah cukup sekali untuk mendapatkan saripati ilmu yang ada dalam tiap kisahnya. Sungguh satu karya agung para pujangga di masa lalu, yang sayang untuk diabaikan dan dilupakan di masa modern ini.
Ohya, apabila ada yang berminat membelinya, di toko buku Gramedia banyak kok. Atau bisa juga beli online di Gramedia online, atau di Tokopedia. Atau, beli di Tokopedia aja, koleksi lengkap Serat Centini ini!