Review Serat Centhini

Serat Centhini Jilid 1: Kisah Pelarian Putra-Putri Sunan Giri

Review singkat Serat Centhini Jilid 1, edisi terjemahan bahasa Indonesia.

cover buku serat centhiniSudah berbelas tahun silam saya mengidamkan membaca Serat Centhini. Di satu pameran buku, saya hanya bisa ngiler melihat teman saya memborong semua jilid Serat Centhini (saya lupa versi yang mana, sepertinya versi hasil pelatinan oleh Yayasan Centhini). Awal tahun ini, ketika mencari bahan bacaan di Gramedia, saya tertumbuk pandang pada Serat Centhini dan serta merta keinginan saya timbul lagi. Pikir saya, ada 12 jilid dan sebulan cukup 1 jilid, bakal pas untuk bahan bacaan sepanjang tahun 2016.

Pendahuluan dulu deh. Apa sih istimewanya Serat Centhini?

Bahasan Serat Centhini

Istimewa banget, baik dari segi ketebalannya maupun kandungan isinya. Naskah asli memiliki ketebalan 4.200 halaman folio. Kandungan isi Serat Centhini paling lengkap dibandingkan naskah-naskah Jawa dan Nusantara yang lain, meliputi:

  • Sejarah
  • Pendidikan
  • Geografi
  • Arsitektur
  • Pengetahuan alam
  • Filsafat
  • Agama
  • Tasawuf
  • Klenik
  • Ramalan
  • Sulap
  • Kesaktian
  • Perlambang
  • Adat istiadat
  • Tata upacara tradisi
  • Etika
  • Psikologi
  • Flora dan fauna
  • Obat-obatan
  • Makanan
  • Seni
  • Senggama
  • Dan lain-lain.

Waduh. Sudah 22 topik saja masih ada embel-embel dan lain-lain. Bayangkan betapa kaya kandungan isi Serat Centhini ini.

Sejarah Singkat

Serat Centhini mulai ditulis pada bulan Januari 1814 dan selesai pengerjaan pada tahun 1823. Ide penulisan lahir dari Adipati Anom Amangkunegara III – yang kelak menjadi Sunan Pakubuwana V (1820-1823). Beliau memerintahkan kepada tiga orang pujangga istana yakini Raden Ngabehi Ranggasutrasna, Raden Ngabehi Yasadipura II (Ranggawarsita I), dan Raden Ngabehi Sastradipura (Kiai Ahmad Ilhar) untuk menuliskan apa yang menjadi idenya. Adipati Anom sendiri berperan sebagai koordinator.

Wah, ternyata jaman itu sudah mengenal profesi content writer juga ya?

Serat Centhini aslinya ditulis dalam bahasa Jawa. Upaya pelatinan secara lengkap sudah berhasil dilakukan oleh Yayasan Centhini. Penerjemahan Serat Centhini dari bahasa Jawa ke dalam Bahasa Indonesia juga sudah dilakukan oleh banyak tim.

Yang saya beli dan baca adalah Serat Centhini dalam bentuk novelisasi. Agus Wahyudi, sang penulis, bertujuan memudahkan para pembaca agar lebih mudah dan menyenangkan saat menikmati karya adiluhung ini. Aslinya, Serat Centhini berbentuk tembang (puisi Jawa) yang memakai kata-kata padat makna sehingga agak sulit dicerna.

Novelisasi Serat Centhini ini memakan waktu dari tahun 2011 sampai 2014. Dan hasil kerja keras Agus Wahyudi tidak sia-sia. Saya dengan mudah menikmati cerita yang disajikan, dan mulai paham mengapa Serat Centhini disebut sebagai karya adiluhung.

Sekarang, masuk ke isi jilid pertama.

Ringkasan Jilid Pertama Serat Centhini

Sesuai sub-judul, jilid pertama ini menyuguhkan kisah pelarian putra-putri Sunan Giri. Jadi ceritanya Kerajaan Mataram menyerang Kerajaan Giri, dan menang. Karena takut diperlakukan hina, putra-putri raja memilih melarikan diri, tapi kurang kompak. Jadinya si sulung Jayengresmi terpisah dari dua adiknya, Jayengsari dan Rancangkapti. Saya jadi belajar sejarah kembali sambil mencoba mencocokkan dengan ingatan yang tersisa. Saya juga belajar memahami periode awal keislaman di Nusantara, setelah Majapahit runtuh dan raja-raja mulai memeluk agama Islam.

Cerita berpusat pada perjalanan Jayengresmi dan juga Jayengsari dan Rancangkapti. Selama perjalanan mereka singgah di banyak tempat, bertemu banyak guru dan menimba ilmu. Sampai akhir buku, ketiga bersaudara itu belum juga bertemu, namun sebagaimana telah digariskan, mereka akan bertemu juga pada saat yang tepat.

Dan benar, begitu banyak pelajaran yang terkandung di Serat Centhini. Kalau mau serius, nggak bakal selesai dalam sebulan deh. Tapi karena saya membaca cepat, banyak bagian yang saya lompati. Ya, saya menikmati Serat Centhini seperti menikmati novel pada umumnya – bukankah begitu tujuan novelisasi Serat Centhini ini?

Juga karena saya bukan muslim, bagi saya banyak hal yang sekedar saya baca tanpa saya merasa perlu untuk memahami. Sekedar nambah pengetahuan gitu deh. Buat kalian yang memang haus pengetahuan, silakan cermati dan hapalkan semua ilmu yang ada di buku ini. Misalnya nih: ilmu tentang Candrasengkala (perhitungan tahun berdasarkan peredaran bulan) di bab 24. Bisa juga belajar ilmu tentang pananggalan (penanggalan) di bab 25 yang detil sekali menjabarkan tentang hari baik dan hari buruk. Atau Ilmu Pakuwon di Bab 19, lumayan ‘kan siapa tahu bisa buka bisnis konsultasi hari baik atau konsultasi berdasar wuku.

Beberapa petilan dari Jilid I yang membuat saya terkesan:

  • Jayengresmi makannya sedikit! Selama mengembara, saat dijamu makan dia hanya makan sekepal nasi plus seiris ikan kering, misalnya. Dan selalu diakhiri dengan bersendawa. Tentang sendawa ini, belum ada kejelasan sih mengapa harus bersendawa setelah makan. Ada yang tahu?
  • Segala sesuatu sudah digariskan. Apakah para leluhur saya menganut paham predestinasi? Semua sudah digariskan dan kita tinggal menjalani. Yang penting bagi mereka, dalam perjalanan selalu eling lan waspada, selalu ingat pada tujuan perjalanan kita.
  • Kalau mau belajar biologi, Serat Centhini ibarat kamus deh. Kita bisa baca nama-nama bunga, binatang, pepohonan, sayur, komplit deh! Kalau saya tuliskan di sini bisa mumet bacanya.
  • Dan kalau ada yang bertanya tentang ilmu senggama, sabar, belum ada di jilid pertama ini. Ingat, ada 12 jilid lho, jadi sabar saja tunggu tulisan saya di bulan-bulan selanjutnya ya!

Di bab 16 dikisahkan tentang Syekh Siti Jenar yang terkenal dengan konsep “manunggaling kawula-gusti”. Di hadapan para wali, Syekh Siti Jenar mengungkapkan keyakinannya:

Menyembah Allah dengan cara bersujud dan rukuk itu (pada dasarnya tak perlu), karena antara yang menyembah dan yang disembah itu hakikinya adalah sama juga, yakni Allah. Demikianlah, maka Allah yang berkuasa dan menghukum itu tiada lain adalah hamba juga. Hamba ini adalah Allah dan Allah itu juga hamba.

Ucapan Syekh Siti Jenar memancing amarah para wali dan akhirnya beliau dihukum mati. Menariknya adalah tiga hari setelah dikuburkan, jenazah Syekh Siti Jenar masih utuh, dan akhirnya beliau moksa, musnah tubuhnya dalam kegaiban.

Ki Sedarlima yang menuturkan kisah itu pada Jayengresmi, menutup ceritanya dengan nasihat:

Bahwa Syekh Siti Jenar itu memang sudah sangat mendalam keyakinannya tentang Allah, tetapi tidak semua orang dapat memiliki keyakinan seperti itu. Kebanyakan orang hanya berhenti pada keyakinan kata-kata saja, bila terbentur kesulitan dalam keyakinan ini biasanya mereka langsung mundur teratur secara perlahan.

Sungguh warbiyasak bijaksana Ki Sedarlima!

Renungan Pribadi

Selama membaca buku ini dan mendapatkan begitu banyak mutiara kebijaksanaan yang bertaburan, terselip keheranan di diri saya. Iya, saya heran pada diri saya sendiri. Saya ini orang Jawa. Orang Indonesia. Mengapa selama ini saya susah-susah mencerna ilmu filsafat impor, sedangkan Serat Centhini sendiri menghidangkan begitu banyak pemikiran brilian tentang kemanusiaan dan hakikat dari kesejatian? Mengapa saya senang sekali mengutip kata-kata bijak para pemikir dari luar, sedangkan Serat Centhini adalah sumur kata-kata bijak yang tak pernah terasa lapuk?

Meskipun ajaran-ajaran yang dituturkan dalam Serat Centhini adalah ajaran Islam, namun saya terkesan menangkap juga kebijaksanaan Jawa alias kejawen. Ternyata benar. Saya kutip dari tulisan Ulil-Abshar Abdalla:

Islam dan budaya Jawa hidup berdampingan. Serat Paku Buwono V ini buktinya.Adapun manusia berasal dari cahaya gaib. Apabila meninggal atau zaman kiamat, manusia akan kembali pada zat yang gaib. Yakni pulang ke tempat asalnya, Manunggaling Kawula-Gusti.

Suluk Serat Centhini, yang meramu khazanah kultur Jawa dan ajaran Islam dengan merujuk pelbagai Kitab Kuning. Suluk adalah ajaran mistik yang diungkapkan berupa tembang, sebuah bentuk puisi Jawa. Tak syak, orang pun bertanya: bagaimanakah hubungan budaya Jawa dengan Islam?

Pertanyaan itulah yang dicoba disahuti oleh sebuah tim peneliti dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Hasilnya menunjukkan bahwa antara kebudayaan Jawa dan Islam bisa hidup berdampingan. Daerah pedesaan Jawa, yang dulu menganut tradisi animistis dan dinamistis, ternyata bisa menerima Islam tanpa kehilangan makna kultural Jawa.

Ah, apabila saya hendak mengupas tuntas apa saja yang dikandung Serat Centhini, rasanya mustahil. Jadi, boleh deh kalian sempatkan baca sendiri. Yang jelas, saya nggak sabar nunggu gajian bulan depan, biar bisa segera beli dan baca jilid kedua.

 

serat centhini komplit

Paket Serat Centhini komplit 12 buku bisa kamu dapetin di sini. Tentu saja di Tokopedia!

Share:

Facebook
Twitter
LinkedIn

26 Responses

  1. Hehehe apalagi ntar pas bagian Cebolang dengan ilmu ala ala Kamasutra 😀 Makasih ya sudah mampir dan membaca! 🙂

  2. Iya, sekarang malah enak ada novelisasinya jadi berasa kayak baca novel (tanpa mengurangi kandungan isinya). Kalau dulu adanya yang versi asli dalam bentuk tembang, susah. Terimakasih sudah mampir dan membaca, salam kenal kembali 🙂

  3. cerita bagus nih, perlu bnyk d perluas lgi agar masyarakat tahu sejarah perjuangan para sunan/wali songo

  4. Bayik Said : Terima kasih banget pemaparan Serat Centhini Jilid 1 jelas, gampang dimengerti alurnya dan maknanya, dan kapan pemaparan Serat Centhini Jilid 2. Saya tunggu. Suwun.

  5. Hai Mbak Intan, betul Mbak, bagus untuk memperkaya wawasan dan kita bisa lebih paham tentang budaya Jawa, dan juga penyebaran agama Islam pada masa lalu di Pulau Jawa. Selamat membaca!

  6. Terima kasih Pak/Mas Suharno, setiap bulan saya baca 1 jilid jadi bulan ini sudah masuk ke jilid ke-7. Cuma malas untuk menulis rangkumannya di sini, maafkan. Komentar dari Pak/Mas Suharno jadi mengingatkan saya untuk tidak malas lagi hehehe. Tunggu ya!

  7. Wahhhhh saya jd semakin tertarik lho.. Boleh lho ulasan buat jilid selanjutnya.. Btw harga bukunya brp ya?

  8. Hai Mbak Linda, terima kasih sudah mampir. Satu edisi sekitar 70ribuan, bisa di beli di Gramedia online, atau di Tokopedia juga banyak yang jual 🙂

  9. Hai mbak Bayik, saya mau tanya nih.
    Serat Centhini pada jilid berapa yang membahas ilmu ala ala Kamasutra? (asmaragama, posisi, dll) benerkah pada jilid 1, 2, 4 dan 7?
    Mohon di bantu jawab ya mbak bayik, Saya bukan orang jawa, tetapi saya tertarik akan hal ini. Dan saya ingin mengangkat ini dalam tugas akhir kampus saya. Terimakasih.

  10. Selamat malam! Berikut ringkasan tiap jilid yang mengandung perkara ilmu seksualitas, biar gampang saya tuliskan judul bab-nya, apabila ada lebih dari satu bab saya pisahkan dengan titik koma:
    Jilid 1: Berburu Ilmu Petung dan Sanggama
    Jilid 2: Wejangan Olah Asmara; Belajar Ilmu Asmara kepada Ki Amongtrustha
    Jilid 3: Asmaragama
    Jilid 4: Ilmu Olah Senggama
    Jilid 5: Di Lembah Kesesatan: Persetubuhan Liar dan Terlarang; Malam Midodareni: Kegilaan Putra Bungsu dan Kerabat Ki Bayi Panurta
    Jilid 7: Malam Keempatpuluh Satu: Persetubuhan Pertama
    Jilid 10: Penjelasan Ki Wiracapa: Tentang Wayang Krucil dan Rahasia Kemaluan Wanita

    Semoga membantu ya!

  11. Hai ka bayik, Aku mau minta bantuan dari kaka nih, kaka mau ga buat jadi narasumber aku buat Tugas Akhir aku (skripsi). Kebetulan aku domisili di Jakarta, kaka di jakarta juga kan?
    Kalo kaka bersedia boleh hubungin email aku [email protected]
    Maaf ka aku sudah coba ngontak kaka di menu kontak tapi agak ga yakin, jadi aku komentart lagi di sini. Maaf ya ka kalo aku ganggu waktu kaka. Terimakasih.

  12. Hi Juni, boleh boleh, nanti aku email ya meskipun mungkin aku nggak capable buat jadi narasumber, but I’ll always be happy to help. 🙂

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

On Key

Tulisan Terbaru