Boleh dibilang terlambat sih mengulas buku karangan Adhitya Mulya ini yang terbit di tahun 2014. Terus terang waktu tahu si penulis cerita komedi ini merilis buku yang berjudul serius “Sabtu Bersama Bapak”, saya ragu untuk membelinya, dan akhirnya terdorong beli minggu kemarin ketika bengong di sebuah toko buku. Dan dalam semalam saya langsung menghabiskan buku setebal 277 halaman ini. Yang artinya adalah buku ini cukup baik dan memikat untuk dibaca sampai akhir (ada banyak buku yang baru lima menit sudah bikin saya bosan), dan berarti juga buku ini cukup ringan untuk saya kunyah tanpa perlu berpikir berat.
Ketika pertama melirik judulnya, saya sudah takut kalau buku ini sekedar kopian dari “Tuesday With Morrie”-nya Mitch Albom. Tapi apalah arti sebuah judul. Yang penting isinya, dan meski serupa (kalau di bukunya Mitch Albom, si Morrie hadir setiap Selasa, di buku Adhitya Mulya, si Bapak hadir setiap Sabtu) namun tokoh utama si Bapak dihadirkan dengan cara berbeda.
Bedanya gimana? Ya, silakan baca sendiri bukunya. Saya malas kasih spoiler hehehe.
Saya cuma mau mengulas aja tentang moral cerita buku ini – meski banyak penulis berkilah, cerita nggak harus punya moral. Yah, apalah itu namanya, moral cerita atau spirit atau nuansa, yang jelas kesan saya atas buku ini adalah: biasa saja. Nggak terkagum-kagum atas segala petuah yang bertebaran di sepanjang buku ini. Nggak tercekam atas konflik yang datar dan biasa aja sih settingannya. Segala masalah yang timbul sepertinya mudah diselesaikan dengan menjentikkan ibu jari macam pesulap. Pencerahan sepertinya mudah datang tanpa melalui pergulatan batin. Dan faktor kebetulan yang menjadi kunci penutup cerita cinta si Saka alias Cakra, bagi saya adalah kebetulan yang bikin gemes: duh, masa’ elo naksir cewek nggak tahu nama lengkapnya sih? (Sekali lagi, no spoiler, jadi silakan baca aja bukunya – hmm, baik ‘kan saya mengiklankan “Sabtu Bersama Bapak” ini berulang kali.)
Mungkin, buku ini cocok bagi mereka pendamba kisah dan kiat sukses dalam menghadapi kehidupan. Mungkin, buku ini cocok bagi mereka yang senang mendapat ceramah dan siraman nasihat. Mungkin, buku ini cocok bagi mereka yang cukup bahagia dengan hidup yang datar – yang penting bahagia!
Yang jelas, buku ini bukan buku buat saya yang mengharapkan konflik nan dalam, berbelit ditambah imajinasi liar plus penutup spektakular. Apalagi satu hal yang dari dulu saya sebel dari buku Adhitya Mulya tetap hadir: catatan kaki yang nggak penting. Bayangkan, saya sedang membaca satu paragraf di awal lantas mata terhenti pada satu nomor yang memaksa saya lompat ke bagian bawah halaman hanya untuk mendapati catatan kaki semacam: “9. Ya, menurut lo?”. Malesin, bung!
Namun ada catatan khusus dari saya tentang si penulis. Saya masih ingat jaman Multiply dulu, saya menulis satu ulasan pedas tentang “Gege Mengejar Cinta”. Pedas banget deh. Eh lha kok si Adhitya Mulya mampir ke akun saya dan meninggalkan komentar, kurang lebih dia berterima kasih atas ulasan saya dan nggak ada nada tersinggung atau marah karena buku yang dipuja para remaja saat itu, saya jadikan bahan tertawaan. Salut!
Oya, kabarnya buku ini akan diangkat menjadi film, dan prediksi saya, film “Sabtu Bersama Bapak” bakal lebih kuat daripada bukunya. Mengapa? Banyak momen yang berpotensi diolah menjadi adegan filmis, meskipun penulis (bagi saya) gagal mengejawantahkan momen itu menjadi kumpulan kata yang bernas.
Jadi, dengan bahan pertimbangan:
- Cerita yang menarik namun pengolahan yang nggak maksimal.
- Gaya cerita yang mulai mendewasa meski ada beberapa bagian tetap menampilkan jokes garing.
- Upaya penulis untuk menghadirkan sejuta nasihat yang berguna bagi kaum muda, terutama yang mendambakan kehidupan berkeluarga yang sehat.
Saya kasih bintang 2.5 deh untuk “Sabtu Bersama Bapak”.
Gambar diambil dari Goodreads.com dan ini ulasan “Sabtu Bersama Bapak” di Goodreads (meski saya nggak ikut mengulas di sana).
satu Respon