Buku pertama yang saya selesaikan baca di tahun 2015 berjudul “Selingkuh“, karya Paulo Coelho. Ya berhubung lagi ngirit budget, edisi terjemahan bahasa Indonesia pun tak mengapalah. Dan tak butuh waktu lama untuk melahap buku setebal 315 halaman ini. Setelah selesai, kesannya… campur aduk.
Sedikit bingung, karena tumben tulisan Paulo Coelho nggak bikin saya tersentuh, dan di beberapa bagian bikin males karena bertebaran kata-kata klise, termasuk kutipan dari Alkitab, yang malah terasa berlebihan dan nggak menambah bobot cerita. Malah satu episode bikin saya berulang-ulang membaca, mencoba mengerti paparan panjang lebar tentang kasih yang langsung loncat ke perenungan Linda tentang cinta dan kehidupannya (hal. 139). Kok, nggak nyambung rasanya ya?
Di sisi lain, ayolah, ini tetap Paulo Coelho. Meski nggak semencekam “Veronika Decides to Die” ataupun sedalam “Alchemist” dan juga nggak semenarik “The Winner Stands Alone”, tetap dia adalah Paulo Coelho, yang bisa mengubah tema sebiasa selingkuh menjadi sebuah cerita.
Iya, temanya biasa banget, tentang seorang Linda yang hidup mapan tak kurang suatu apa, punya suami dan anak-anak tercinta, punya karir sebagai jurnalis, pendek kata: tak kurang suatu apa. Toh, tetap Linda merasakan satu kekosongan, satu perasaan yang hadir tanpa alasan. Lalu ia bertemu dengan mantan kekasihnya, dan perselingkuhan terjadi.
Biasa banget ‘kan?
Bagusnya, Paulo Coelho nggak berlama-lama dengan drama dan nggak juga bikin plot yang sok dramatis. Akhir cerita pun bisa dibilang antara biasa dan nggak biasa. Dan Coelho tetap setia dengan tema besar di setiap bukunya: pengembaraan pribadi menuju yang sejati. Cerita dipaparkan lewat kacamata Linda, membuat kita ikut naik turun seiring permenungannya. (Naik turunnya jangan ibaratkan seperti naik roller coaster, karena seperti saya bilang, biasa banget apalagi untuk sekelas Paulo Coelho.)
Lumayan sih, jadi punya bahan pemikiran tentang selingkuh dan perselingkuhan. Saya punya banyak cerita tentang perselingkuhan di dunia nyata (cerita dari teman-teman saya yang mengalaminya, bukan saya, saya mah tipe setia). Kenyataan yang membuat saya mengamini: manusia itu lemah. Daging itu lemah. Begitu mudah tergoyah oleh sesuatu yang lain, yang lantas didukung oleh logika dengan sekian banyak pembenaran dan alasan.
Nggak semua orang seberuntung Linda, karena Coelho menciptakan sosok suami yang begitu pengertian, yang nggak banyak cakap tapi mau dan mampu mengerti situasi yang sedang dihadapi sang istri.
Dan nggak semua orang juga, yang pernah selingkuh, sekokoh Linda dalam mengarungi satu fase perjalanan hidupnya itu. Kebanyakan orang berlindung di balik pembenaran, lalu menjadi seseorang yang lebih buruk dari sebelumnya. Mbokya berkaca pada Linda, yang menjalani fase itu dengan tegar – meski ada satu sesi di mana dia menangis tak tertahankan. Terus melangkah selayaknya pecatur yang sedang bermain. Menuruti hawa nafsu sesatnya lalu berhenti ketika sudah waktunya berakhir. Lalu mendapat pencerahan. Lalu dunia kembali terasa sama baginya, kembali seperti semula, dengan penghayatan yang berbeda.
Bukan berarti saya setuju dengan pilihan Linda, membenarkan perselingkuhan sebagai satu fase wajar yang harus dijalani dan dilewati. Bagi saya, selingkuh itu tetap satu tindakan terlarang, karena itu berarti mengingkari komitmen dengan pasangan.
Ya kalo kayak Linda yang sepertinya lagi mengalami kekosongan eksistensial, dimaklumi dah. Lagian itu cuma fiksi.
Jadi kesimpulannya gimana? Bagi saya, buku ini tetaplah berharga untuk dibaca tuntas, namun tak begitu berharga untuk tetap berada di rak saya. Jadi, ada yang mau saya kirimi buku ini? Gratis!
Update: Bukunya sudah saya hibahkan ke teman. Kalau mau buku gratis, pantengin terus blog ini, saya akan bikin giveaway setiap bulan!
Kalau mau beli bukunya cus di Tokopedia. Klik aja tautan yang ini untuk beli buku Selingkuh karya Paulo Coelho, ya!
Tinggalkan Balasan