Micromanagement

Micromanagement dan Hal-Hal Menyebalkan yang Menyertainya

Micromanagement itu menyebalkan. Titik. Namun, masih saja ada pemimpin yang tidak merasa ada yang salah dengan gaya micromanagement mereka.

Satu hal yang sering dilakukan oleh pimpinan atau yang menjabat sebagai manajer di sebuah perusahaan adalah micromanagement. Saya menemui beberapa kasus termasuk yang saya alami sendiri seputar micromanagement ini. Tidak semua mereka sadar bahwa yang mereka lakukan itu adalah micromanagement. Atau, kalaupun mereka sadar, menurut mereka micromanagement itu sah saja untuk dilakukan.

Dalam tulisan ini, saya ingin mengulas secara ringan tentang apa itu micromanagement dan bagaimana cara menghadapi pimpinan yang punya kebiasaan buruk ini.

Micromanagement adalah sebuah gaya manajemen di mana manajer sangat memperhatikan, memantau dan mengontrol kinerja dan perbuatan bawahan, secara berlebihan.

Lho, bukannya itu tugas manajer ya? Namanya juga manajer, jadi wajar kalau dia memantau kinerja bawahannya?

Ya, tapi tidak secara berlebihan.

Kalau sudah berlebihan alias keterlaluan memantaunya, sudah masuk micromanagement itu namanya, dan sudah tidak sehat lagi praktiknya.

Ciri-ciri micromanagement

Saya bisa bagikan beberapa contoh micromanagement yang pernah saya jumpai sendiri.

Ada yang selalu ingin tahu bawahan sedang ngapain saja. Tidak cukup morning briefing, tapi setelah itu masih dipantau per jam, per menit, per gerakan, sampai-sampai kalau mau pergi ke toilet pun ditanya, “Mau ke mana?” Kepo sangat deh ih.

Ada lagi manajer yang selalu ingin tahu bawahan lagi di mana. Sampai-sampai pergerakan bawahan dipantau GPS-nya sehingga bisa tahu benarkah kita berkunjung ke klien A, atau rute apa yang dilalui oleh kita.

Manajer yang lain lagi selalu menuntut update terus menerus. Kalau update sudah bisa dihasilkan secara otomatis oleh sistem sih, tidak masalah, update akan tersedia real time. Tapi kalau update harus dilakukan secara manual, alias report dikirim manual lewat WhatsApp misalnya, ‘kan mengganggu ya. Kita jadi tidak bisa bekerja dengan tenang karena dikit-dikit ditanya “sudah sampai mana?” padahal deadline masih dua hari lagi.

Kalau dibikin daftar, ini beberapa ciri micromanagement:

  • Selalu ingin di-cc di tiap email. Atau bcc. Pokoknya beliau harus mendapat copy setiap email.
  • Lebih fokus pada progress daripada hasil. Sepanjang hari minta update progress proyek yang sedang kita kerjakan, sudah sampai di mana. Padahal deadline masih jauh.
  • Segala sesuatu harus ada approval dia. Padahal sering kali dia membubuhkan tanda tangan saja, tanpa paham isi formulirnya apa. Yah, biar dia tetap ada fungsinya, gitu, yaitu fungsi memberikan approval.
  • Memberikan instruksi detil banget. Saking detilnya sampai menjabarkan cara yang harus dilakukan di tiap langkah, padahal bisa jadi ada 1001 cara lain untuk mencapai tujuan yang sama.
  • Tidak percaya orang lain bisa bekerja sebaik dia. “I am the CEO. I am the founder.” Hell yeah, terus mengapa kalau you itu CEO? Punya jabatan bukan berarti bisa kerja dengan baik, lho.

Mengapa manajer melakukan micromanagement?

Ini pertanyaan menarik. Kalau micromanagement dianggap sebagai gaya manajemen yang buruk, mengapa orang-orang itu bisa menjadi manajer?

Sepanjang karir saya, berbagai jenis pimpinan sudah pernah saya temui.

Ada pimpinan yang selow banget, percaya dengan apa yang saya kerjakan. Ini pimpinan ideal buat saya deh. Dia tidak ingin tahu saya sedang di mana dan sedang ngapain, yang penting tugas saya beres.

Ada pimpinan yang want to know aja, padahal yang dia ingin tahu di luar expertise dia. Ini nyebelin banget.

Dari pimpinan atau manajer yang want to know aja itu, saya menyimpulkan mengapa mereka bertindak seperti itu.

Yang pertama, mereka tidak percaya pada bawahannya. Entah punya trauma apa mereka di masa lalu, jadinya sekarang mereka lebih suka micromanagement agar mereka teryakinkan bawahannya tidak melenceng dari apa yang mereka tugaskan.

Yang kedua, mereka tidak percaya pada diri sendiri. Bisa jadi mereka tergolong boomers yang sudah tidak relevan untuk dunia kerja sekarang ini, tapi karena terlanjur jadi orang kepercayaan big boss, mereka memanfaatkan jabatan mereka untuk menutupi kekurangan mereka. Mereka tahu bahwa mereka tidak mampu, tapi mereka tidak mau mengakui itu. Sebagai kompensasi, mereka melakukan micromanagement agar bawahan yang lebih pintar dari mereka itu tetap berada di bawah kendali mereka.

Yang ketiga, mereka terlalu percaya pada diri sendiri. Mereka percaya bahwa cara mereka adalah yang terbaik, dan bawahan harus mengikuti itu, tidak boleh mengambil cara lain yang bisa jadi sebenarnya lebih relevan untuk saat ini. Ini tipikal pemimpin yang bebal sih, yang tidak mau mendengar feedback dari orang lain.

Mengapa micromanager bisa menjadi pemimpin?

Satu pertanyaan yang menggelitik adalah mengapa orang-orang bisa menjadi pemimpin, padahal mereka termasuk micromanager?

Bisa jadi, mereka jadi pemimpin perusahaan karena beruntung saja. Misalnya seperti di tulisan saya sebelumnya tentang toxic positivity. Karena ayahnya tajir melintir sehingga tiba-tiba bisa bikin perusahaan, si anak yang punya pengalaman minim sebagai pemimpin ini bisa jadi direktur.

Atau, mereka sudah bekerja puluhan tahun di satu perusahaan, sehingga menjadi orang kepercayaan owner.

Atau, yang sering terjadi, awalnya mereka adalah karyawan yang baik. Seiring dengan performa bagus, mereka mendapat kenaikan jabatan. Yang semula tidak punya bawahan, sekarang memimpin satu tim. Tapi perubahan jabatan itu tidak disertai dengan perubahan gaya kerja mereka. Pastinya beda ya, kerja sendirian dengan kerja tim.

Mengapa micromanagement itu buruk?

Segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik.

Micromanagement yang mengontrol kinerja karyawan secara berlebihan, dalam jangka panjang akan menyebabkan si karyawan tidak bisa perform secara optimal.

Bagaimana bisa perform, dipercaya aja kagak?

Siapa sih yang akan bisa bekerja dengan tenang, jika tahu dirinya dimata-matai lewat CCTV? Siapa yang bisa bekerja dengan tenang, kalau dikit-dikit dikagetkan oleh kemunculan manajer yang tiba-tiba sudah hadir di samping dan kepo dengan apa saja browser yang dibuka di layar laptop?

Micromanagement menyebabkan suasana kerja yang tidak nyaman.

Karyawan jadi terbiasa untuk mengikuti apa yang sudah digariskan oleh manajer, dan tidak mencoba untuk berinisiatif. Lha gimana mau berinisiatif, jika berbeda pandangan saja langsung dicap tidak satu visi, atau keluar kata-kata sakti, “Saya adalah CEO perusahaan ini. Saya yang tahu kebijakan mana yang baik untuk perusahaan ini.”

Bagaimana me-manage micromanager?

Jika Anda terjebak dalam kepemimpinan model micromanagement begini, ini yang bisa Anda lakukan.

Adaptasi. Lakukan saja apa yang diminta oleh manajer saja. Tidak perlu melawan. Pegang prinsip, selama Anda digaji, yang lain tidak perlu jadi masalah.

Jika gaji yang Anda terima sebanding dengan “makan hati” yang Anda lalui tiap harinya, bertahan saja.

Sebaliknya, jika Anda merasa gaji Anda terlalu kecil untuk ketidaknyamanan Anda, segera cari tempat kerja lain, tentunya yang menawarkan gaji yang lebih baik.

Tidak perlu mengubah gaya manajer Anda. Itu tugas HR dan atasan manajer Anda. Tugas Anda hanya bekerja sesuai kontrak kerja.

Kalau Anda berada di perusahaan kecil, dan si micromanager ini adalah pemimpin perusahaan itu sendiri, ya lambaikan tangan ke kamera. Tentunya setelah Anda mendapat tempat kerja yang lebih baik, ya!

Sebagai penutup, ini sebuah video bagus tentang seorang CEO yang menyadari dirinya tanpa sadar telah menjadi budak micromanagement. Untung dia cepat sadar!

Share:

Facebook
Twitter
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

On Key

Tulisan Terbaru